Serendipity's Paradox

nandini s
Chapter #13

Koneksi

Chapter XII : Koneksi

Now Playing : Lean on Me by Bill Withers.

18 September 2023.

Empat hari telah berlalu, dan kini aku berada kembali di Kota Medan, di bawah naungan sinar matahari yang tak pernah segan menyapa. Cahaya pagi mulai merangkak naik, memancar lembut melalui celah jendela, meresap perlahan ke dalam ruang kamar. Meski kedua mataku masih terpejam, aku bisa merasakan hangatnya menyentuh wajah, seakan memanggilku untuk segera bangun dari mimpi.

Tubuhku menggeliat ringan, seperti mencoba melarikan diri dari panggilan sang fajar. Kusembunyikan diriku di balik selimut, berharap bisa kembali tenggelam dalam keheningan. Namun, sinar matahari yang menyilaukan itu menembus kelopak mataku, memaksaku menyerah. Kuperlahan kuusap wajahku dengan jemari yang masih lemah, mencoba mengusir kantuk yang membandel, disusul dengan satu tarikan napas panjang yang berakhir dalam sebuah gerutuan.

“Siapa yang membuka pintu kamarku?” gumamku pelan, suara serak yang tersisa dari sisa tidur malamku.

Belum sempat aku benar-benar terjaga, suara yang lebih tegas menjawab dari balik pintu. Sosok ibuku muncul, seperti bayangan yang menjelma dari cahaya pagi itu sendiri. “Siapa, siapa...” suaranya mengulang kata-kataku dengan nada yang lebih menohok, dipadu dengan sorot mata yang membuatku tersentak. "Anak gadis tidak sepatutnya masih meringkuk jam segini. Sudah jam sembilan, dan kau masih terlena dalam mimpi. Apa kau lupa, ada kuliah Zoom jam sepuluh?"

Ibuku, dengan senyum samar namun penuh makna, mulai memukul tubuhku dengan guling—bukan untuk menyakiti, tapi cukup untuk mengingatkanku bahwa dunia nyata takkan menungguku lebih lama lagi. Setiap pukulan lembutnya seakan mengusir sisa-sisa kantuk yang mencoba bertahan, dan tiba-tiba saja ingatan akan jadwal kuliahku menghantam kesadaranku.

Mataku langsung terbuka lebar, penuh dengan rasa panik yang menjalari pikiranku. Oh, benar juga, waktu tak lagi bersahabat. Sial, pikirku, satu jam lagi aku harus berada di depan layar, siap mengikuti kuliah yang menanti.

"Ibu, kenapa baru bangunin Nadia sekarang?" seruku seraya melompat dari ranjang, panik, seakan-akan waktu berlari lebih cepat dari dugaanku. Langkah-langkah tergesa meluncur ke arah pintu, tubuhku setengah berlari menuju tangga, bersiap turun dan menyongsong air dingin untuk membangunkan hari. Namun, sebelum aku sempat benar-benar melangkah keluar, sepasang jari yang kurasakan begitu akrab menjewer telingaku, menghentikan lajuku, dan seruan kecil kesakitan keluar dari bibirku tanpa bisa ditahan.

"Baru dibangunin, kau bilang?" Suara Ibu menyeruak, memantul di antara dinding ruangan. Ada kehangatan yang samar terkubur dalam nada tinggi itu, tetapi yang lebih tampak adalah amarahnya—sebuah badai kecil yang terbaca jelas dari kilat di matanya. "Dari jam lima subuh Ibu sudah teriak-teriak manggil kau, tahu? Tapi telinga kau entah pergi ke mana. Asyik begadang sampai nggak dengar suara Ibu dari bawah. Sekarang, makanya, Ibu harus naik untuk membangunkan kau." Sorot matanya yang menyala, penuh dengan letupan-letupan kesal yang tak bisa disembunyikan, membuatku terdiam di tempat.

Setiap kata yang terucap seakan menampar wajahku, bukan dengan kekerasan, melainkan dengan kebenaran yang menyengat. Aku tak bisa mengelak; malam-malam panjang yang kulewati dengan mata yang lebih lekat pada layar daripada bantal telah menghantarku pada pagi yang terlambat ini.

"Udah, sana cepat mandi." Ucapan Ibu mengalun seperti perintah terakhir dari langit yang menggema, menusuk ruang antara kami dengan tegas, meski tak disertai amarah lagi. 

Aku mengerucutkan bibir, berusaha meredam sejumput rasa kesal yang masih mengganjal di dada, efek dari jeweran yang masih terasa panas di telingaku. Suara dehemanku tipis, nyaris tenggelam dalam udara yang kini terasa lebih sepi. Seolah-olah dengan bibir mengerucut dan dehem ringan, aku berharap bisa menghapus perih kecil yang ditinggalkan sentuhan Ibu tadi. 

Tanpa menunggu lebih lama, aku segera melesat, seperti anak panah yang terlepas dari busurnya, meluncur menuruni anak tangga dengan cepat. Setiap langkahku berderak, seakan bersaing dengan detak jantung yang masih sedikit berdegup kencang karena sisa ketegangan tadi. Mataku tertuju ke depan, ke pintu kamar mandi yang menunggu, sementara pikiranku berjalan di antara ingatan yang lain. 

Sambil bergumam, hampir tak terdengar, aku berbisik pada diriku sendiri, "Aneh ya, pas di chat typing Ibu kelihatan ramah sekali, hangat seperti sinar matahari pagi yang membelai lembut. Tapi yang ini? Serasa ada badai yang diam-diam meletus di tengah lautan tenang." Ucapan itu seperti desahan angin yang lewat, mencuri sejenak ruang di antara pikiranku yang kacau, mencoba memahami perubahan Ibu yang terasa begitu kontras. Ah, betapa mudahnya pesan-pesan di layar membuatku lupa akan kenyataan di dunia nyata.

Aku terus melangkah, dengan suara air di kamar mandi yang sudah mulai terdengar, seolah memanggilku untuk segera terjun ke dalam kenyataan yang lebih segar—dan mungkin, lebih menenangkan.

***

Aku telah selesai mandi, sisa-sisa air dingin masih menempel di kulitku, memberikan rasa segar yang membangunkan tubuh dari kantuk yang tersisa. Dengan langkah cepat, aku menapaki anak tangga satu per satu, bergerak menuju kamarku di lantai atas. Setiap pijakan terasa akrab, seakan tangga itu menyimpan jejak-jejak hari-hari sebelumnya—sebuah lintasan yang hanya aku lalui.

Biarkan kuberitahu sesuatu yang sederhana tapi bermakna, hanya aku yang tidur di kamar atas. Lantai atas, bagiku, seperti ruang kecil di mana aku bisa terpisah sejenak dari keramaian, dari detak kehidupan yang terjadi di bawah. Ibu, Ayah, dan adikku semuanya tidur di lantai bawah, dekat dengan dapur yang selalu menghangatkan rumah di pagi hari, dan dekat dengan suara-suara malam yang masih sibuk dengan kehidupan. Sedangkan aku? Aku seakan mengasingkan diri dalam kedalaman langit-langit, di antara sunyi dan kesendirian yang hanya bisa ditemukan di tempat yang lebih tinggi.

Lihat selengkapnya