Chapter XIV : Enigma
Now Playing : Clocks by Coldplay (Instrumental).
2 November 2023.
Sekali lagi, hatiku terlonjak saat melihat notifikasi muncul dari Bang Rafi. Sebuah pesan yang datang tak terduga, seperti angin yang berembus di malam tenang. Kali ini, ia membalas story WhatsApp-ku lagi, namun di bulan yang berbeda. Ini sudah November—bulan di mana angin mulai membawa dingin dan hujan menetes di sore hari, membasahi sisa-sisa keramaian yang tersisa di bulan sebelumnya.
Malam itu, aku tengah asyik tenggelam dalam kesibukan yang melarutkan pikiran—mengedit video yang baru saja selesai kubuat. Jemariku lincah menari di atas layar ponsel, memainkan setiap detik yang kupotong dan kuatur. Hanya beberapa saat sebelumnya, aku baru saja berhasil menghafal gerakan dance K-pop yang tengah viral, lalu dengan bangga, aku unggah video itu di story WhatsApp. Dalam kesibukan yang diam itu, tak kusangka Bang Rafi kembali mengomentari unggahanku, seperti sering kali ia lakukan, namun selalu dengan cara yang tak tertebak.
Malam ini, pesannya datang lagi. Pesan yang penuh teka-teki, seperti kalimat tersembunyi di balik tabir yang tak pernah benar-benar kubisa pahami.
Aku bertanya-tanya, apa yang sebenarnya ia maksud? Ada sesuatu tentang pesannya yang selalu membuatku termenung sejenak, mencoba meraba makna di balik setiap kata. Rafi tak pernah langsung. Selalu ada sesuatu yang ia sembunyikan, membuatku tersesat dalam pikiranku sendiri, mencari petunjuk yang mungkin saja ada, namun tak pernah kutemukan. Pesannya tiba-tiba, seperti selalu, dan aku, seperti biasa, dibiarkan kebingungan dalam kerumitan kata-katanya.
Rafi Darmawan Satria
“Tarian penghambat rezeki.”
Kedua mataku terbelalak, nyaris tak percaya dengan apa yang kubaca. "Tarian penghambat rezeki?" Apa maksud dari kata-kata itu? Kalimatnya menggema di kepalaku, berputar-putar seperti teka-teki yang tak kutemukan jawabannya. Ada rasa penasaran yang mendesak, seakan kata-kata itu bukan sekadar candaan, tetapi menyimpan makna yang lebih dalam, lebih misterius.
Aku pun membalas, meski tak banyak kata yang terlintas di benakku.
Nadia Intan Melati
"Bang Rafi..."
Hanya itu. Satu kalimat yang keluar, namun begitu sarat dengan kebingungan. Tentu saja, seperti kebiasaanku, aku menambahkan emoji menangis di akhir kalimat—sebuah lambang yang sering kali kuandalkan untuk mengekspresikan perasaan yang sulit kurangkai dalam kata. Emoji itu sudah menjadi wakil perasaanku, semacam jendela kecil ke dalam hatiku yang terkadang sulit diuraikan oleh kata-kata semata.
Tak lama, balasan dari Rafi muncul kembali, seperti selalu, penuh teka-teki yang tak pernah sepenuhnya terungkap.
Rafi Darmawan Satria
“Aku kira, kalian satu perguruan.”
Pesannya singkat, namun entah bagaimana selalu menyulut lebih banyak tanya. Dan kali ini, ia menyertakan sebuah video, berdurasi 16 detik.
Dengan jantung yang berdebar tak sabar, kutekan ikon play pada video yang dikirimkan oleh Bang Rafi. Ada rasa ingin tahu yang membuncah, membayangkan seperti apa gerangan "tarian penghambat rezeki" yang dimaksud olehnya. Setiap detik yang berlalu terasa lambat, seolah waktu sengaja mempermainkanku dalam keheningan malam. Layar ponselku pun terbuka, menampilkan pemandangan yang segera membuatku meledak dalam tawa.
Di dalam video itu, terlihat dua pria berbaju merah; yang satu berpostur tubuh pendek dan kekar, sementara yang lain menjulang tinggi seperti menara, menciptakan kontras yang begitu mencolok. Mereka menari—atau setidaknya, mencoba menari—dengan gerakan yang begitu konyol, seolah setiap langkah kaki dan lambaian tangan mereka adalah olok-olok terhadap gravitasi. Gerakan mereka begitu tak sinkron, namun itulah yang membuatnya lucu, bahkan jenaka. Tanganku refleks menutup mulut, menahan tawa yang terus meledak, tapi tak bisa kucegah.