Chapter XV : Jejak
Now Playing : Turning Page by Sleeping at Last.
Akhir Januari di awal tahun 2024, Jakarta menyambutku dengan ritmenya yang tak pernah henti. Kota ini, dengan gemuruh mesin-mesin kendaraan yang mengepulkan asap ke udara, terasa seperti paru-paru yang tak pernah berhenti bernapas. Aku kembali menghirup aroma yang sama—campuran debu dan asap yang memenuhi sudut-sudut kota ini, seperti kenangan yang tak pernah benar-benar memudar.
Bangunan-bangunan tinggi yang menjulang, seakan ingin menyentuh langit, tersembunyi di balik kabut yang setia menutupi mereka, menciptakan bayangan samar-samar yang membuat semuanya tampak seperti ilusi. Jakarta, dengan segala hiruk-pikuknya, memelukku kembali, mengajakku merasakan denyut kehidupannya yang tak pernah berhenti, kali ini dalam langkah yang nyata. Aku kembali untuk menyelami dunia pendidikan yang sempat kutinggalkan, dan kota ini, meski riuh, menyapa dengan caranya yang unik.
Dalam perjalanan menuju kosan lamaku, mataku terpaku pada jendela mobil yang berderak menembus jalan. Di balik kaca yang basah oleh tetesan air hujan, langit yang gelap seolah melukis Jakarta dengan nuansa sendu. Hujan turun bertubi-tubi, menghantam bumi dengan intensitas yang belum pernah kusaksikan sebelumnya. Biasanya, hanya dari layar televisi aku menyaksikan berita tentang hujan yang membawa banjir ke sudut-sudut kota ini. Namun kini, aku melihatnya sendiri—hujan yang membasahi jalanan, atap-atap rumah, dan menorehkan jejak dingin di setiap permukaan.
"Apakah hujan ini, yang deras dan tak kenal ampun, akan menjadi penyebab banjir seperti yang sering diberitakan?" tanyaku dalam hati, batinku bergumam dalam keheningan mobil yang terus melaju. Ada sesuatu yang melankolis di balik tirai air yang jatuh, seakan Jakarta ingin bercerita tentang kesedihannya, tentang bebannya yang tak terlihat oleh mata, tapi selalu dirasakan oleh mereka yang hidup di bawah langit kelabu ini.
Aku memutuskan untuk kembali tinggal di kosan lamaku, tempat di mana kenangan masa lalu terpatri di dindingnya yang usang. Langkahku yang membawa pulang ini bukan hanya perjalanan fisik; ia adalah perjalanan batin yang mengantarku kembali pada masa-masa di mana aku pernah merasakan sepi dan keramaian sekaligus.
Aku tiba di ujung jalan kosanku saat hujan masih dengan lembut menyelimuti kota ini, bagaikan tirai tipis yang jatuh perlahan dari langit. Meski tetesannya tak begitu deras, setiap butirnya terasa menyentuh kulitku, seakan membawa pesan sunyi dari langit yang kelabu. Tubuhku yang kini setengah basah menjadi saksi dari pertemuanku dengan alam yang enggan beristirahat. Langit mendung seolah menyuarakan kesedihan yang tak terucap, serupa dengan perasaan yang diam-diam merayap ke dalam hatiku.
Aku tak punya pilihan lain selain turun dari mobil yang kubayar melalui aplikasi, kendaraan yang berhenti jauh sebelum bisa mengantarku ke tempat yang lebih hangat. Jalanan sempit menuju kosanku tak bisa dilalui mobil, dan di titik ini, aku harus melanjutkan langkah-langkah sepi di bawah hujan sendirian. Dengan koper yang berat di tangan, tas di punggung, dan satu lagi yang kujinjing di sisi, aku melangkah menerjang genangan air yang memantulkan bayangan langit suram.
Setiap langkah terasa seperti seruan ke dalam kekosongan, meninggalkan jejak yang dengan cepat dihapus oleh air. Suara koper yang bergesekan dengan jalan menjadi musik pengiring kesendirian yang membekas di dalam diri. Di tengah perasaan sedih yang samar-samar menyelimuti, hatiku mulai merindu. Tak butuh waktu lama bagiku untuk mengingat keluarga yang kutinggalkan di Medan—hanya beberapa jam yang lalu, tapi rasanya seolah mereka telah jauh menghilang di balik tirai hujan yang tak berhenti mengalir. Setiap tetes yang jatuh membisikkan rindu, seakan membawa aroma rumah yang kini terasa terlalu jauh untuk kuraih.
Saat langkahku tiba di depan pintu kos, setiap gerakan terasa seperti alunan lembut, seakan pintu itu menjadi gerbang menuju kenangan yang terlupakan. Dengan hati-hati, kusentuh gagangnya, takut-takut kalau pintu itu terkunci, namun ternyata tidak. Suara lirih saat kusentakkan terasa seperti desahan kecil malam yang tenang, mengiringi langkahku yang segera menyelinap masuk. Aku tak ingin tubuhku, atau barang-barang yang kupikul dengan hati-hati, menjadi lebih basah oleh hujan yang masih menari di luar.
Begitu aku berada di dalam, udara di dalam kos menyambutku seperti pelukan hangat yang sudah lama kutinggalkan. Di sanalah memori-memori mulai berdatangan, kenangan saat aku tinggal hanya seminggu di sini dulu, seolah terputar kembali dalam pikiranku. Waktu itu, kamarku ada di dekat tangga, kamar di sebelah kanan—tempat yang sederhana, tapi penuh dengan cerita yang belum selesai. Kini, saat aku kembali, kamar itu sudah ditempati orang lain. Takdir menempatkanku di kamar yang berbeda, namun tak jauh dari yang dulu; masih di dekat tangga, namun di sebelah kiri kali ini. Ada sesuatu yang familiar, namun tak sama—sebuah pergeseran kecil, namun terasa dalam.
Pintu kamarku kali ini tak dikunci, sesuai kata Ibu kos yang telah mempercayakan kuncinya di pintu, menggantung bersama waktu yang terasa beku di antara jemariku. Aku mendorong pintu itu perlahan, deritannya seperti nyanyian sunyi dari masa lalu, tidak keras, tapi cukup untuk menggetarkan ingatanku. Dengan sigap, kutarik masuk semua barang-barangku, seakan mereka juga ingin berlindung dari hujan yang tak kenal ampun. Ruangan ini menjadi saksi diam akan langkahku yang kembali, dan pintu yang tertutup di belakangku seolah mengisyaratkan bahwa cerita baru akan segera dimulai, namun tetap terhubung dengan sisa-sisa kenangan yang pernah kualami di sini.
***
Di tengah kesibukan yang membungkusku, saat jemariku sibuk melipat helai demi helai pakaian dan menata barang-barang yang kubawa, pikiranku tiba-tiba terbang ke kenangan kecil yang kubawa dari Medan—oleh-oleh sederhana yang kupersiapkan untuk mereka, tiga kakak tingkat yang masih setia menetap di sini, bertahan meski waktu telah mengalir begitu cepat selama lima bulan terakhir. Kak Rumi, Kak Zara, dan Kak Lala—nama-nama itu seperti bintang yang menghiasi langit kehidupanku di kampus, menyinari hariku dengan kehadiran mereka yang tak pernah pudar.
Kak Rumi, sosok pertama yang tiba kembali di Jakarta, jauh lebih awal dari diriku. Sudah seminggu penuh ia melangkah di kota ini, seolah merintis jalanku yang baru tiba. Namun, Kak Zara dan Kak Lala tetap memilih untuk tidak kembali ke kampung halaman mereka. Ada sesuatu yang tersimpan dalam keputusan itu, sesuatu yang mungkin hanya mereka sendiri yang pahami, sementara aku hanya bisa bertanya-tanya dalam hati, tanpa benar-benar tahu apa alasan yang membuat mereka bertahan.