Chapter XIV : Perayaan
Now Playing : We Are Young by Fun. ft. Janelle Monáe.
Siang itu, mentari menggantung tinggi di atas kampus, sinarnya menembus celah-celah pepohonan, menari lembut di atas aspal yang panas. Langkahku terasa sedikit lebih berat dari biasanya, mungkin karena aku tahu Kak Rumi sudah lebih dulu tiba. Seperti biasa, aku tertinggal, selalu lambat dalam setiap gerak, seakan waktu memiliki kesabaran yang tak sama denganku. Kusempatkan mengirim pesan, memintanya untuk berangkat lebih dulu, tak ingin ia terjebak dalam ketergesaan yang kuhasilkan.
Saat akhirnya kakiku menyentuh lantai kelas, kehadiranku disambut dengan senyum dan tawa ringan dari teman-teman sekelas. Mereka tampak bahagia melihatku kembali setelah sekian lama. Aku membawa oleh-oleh sederhana, sebungkus keripik dari Medan—keripik yang sama yang sudah kuberikan sebelumnya kepada Kak Rumi, Kak Zara, dan Kak Lala. Kuperlihatkan bungkusnya kepada teman-teman, dan tak butuh waktu lama bagi mereka untuk mencoba. Satu demi satu mereka mengunyah dengan penuh rasa penasaran, kemudian anggukan puas terpancar di wajah-wajah mereka.
"Enak banget! Beli dimana, nih?" seru salah satu dari mereka, serentak yang lain mengangguk setuju dan ikut penasaran. Namun ketika aku menyebutkan bahwa keripik itu kudapatkan di Medan, senyum mereka memudar, digantikan oleh keputusasaan kecil yang tampak menggelikan. “Ah, Medan, jauh sekali,” gumam mereka dengan raut wajah yang tiba-tiba lesu, seolah impian untuk merasakan lagi renyahnya keripik itu telah terbang menjauh bersama angin.
Perkuliahan siang itu berakhir pada sore hari seperti biasanya—tenang, namun penuh dengan pembelajaran yang meninggalkan jejak di benak kami. Namun, sore itu, ada sesuatu yang berbeda, sebuah ajakan dari teman-teman sekelas. Mereka mengundangku untuk makan malam bersama di restoran terdekat, seolah ada perayaan kecil yang digelar untuk menyambut kehadiranku kembali di kota ini. Tentu, aku mencoba menepis rasa bangga yang sempat muncul di hati, berpikir mungkin saja ajakan ini lebih karena perut mereka yang lapar daripada semata-mata merayakanku. Tapi tetap saja, ajakan itu terasa hangat, seperti pelukan tak kasat mata yang menyelimuti hatiku yang sempat tersendiri di perantauan.