Satu hari setelah kematian Ayah Kiara
Pagi ini seisi kelas dikejutkan dengan kabar yang baru disampaikan oleh sang ketua. Terutama Gea yang kini tengah memandang kosong bangku sahabatnya. Bodoh. Seharusnya ia mengerti perasaan Kiara. Seharusnya ia ada disisi Kiara saat itu. Bagaimana bisa ia disebut sebagai seorang sahabat jika ia tak mengerti apapun tentang sahabatnya? Gea menangis. Melihat hal itu, anak-anak perempuan yang lain segera menghampiri Gea dan menenangkannya.
Gea mengusap air matanya ketika wali kelas datang. Semua anak kembali ke bangkunya masing-masing.
"Selamat pagi anak-anak."
"Pagi, bu."
Bu Pelita memperhatikan sejenak kondisi anak-anaknya. "Ibu meminta maaf karena kalian harus mendengar kabar duka pagi ini. Seperti yang ketua kelas kalian katakan bahwa ayah Kiara telah meninggal. Sudah selayaknya kita harus mendampingi anggota keluarga kita agar dapat kembali ceria seperti biasanya."
"Kalian mendapat dispensasi selama jam pelajaran ibu untuk melayat ke rumah Kiara. Ingat! Tunjukkan simpati dan empati kalian. Beri Kiara kekuatan agar dapat melalui semua ini dengan baik. Mengerti?"
"Iya, bu."
Setelah melakukan persiapan, pukul delapan tepat mereka semua pergi menuju rumah Kiara menggunakan kendaraan pribadi masing-masing. Demi menjaga keamanan dan keselamatan, anak laki-laki bertugas mengawal anak perempuan.
Sesampainya di rumah Kiara, Gea menjadi orang yang pertama kali masuk. Ia melihat sahabatnya duduk dengan padangan kosong. Matanya sembab dan wajahnya terlihat pucat. Kiara menoleh saat menyadari ada seseorang datang. Ia berdiri ketika Gea berlari ke arahnya. Mereka saling berpelukan. Anak-anak perempuan yang baru masuk pun ikut memeluk mereka berdua. Setelah mengurai pelukan, mereka semua pergi ke teras. Sedangkan Bu Pelita bersama siswa laki-laki berada di dalam mendengarkan cerita Ibu Kiara.
"Saya sangat berterima kasih kepada ibu guru dan teman-teman Kiara karena sudah menyempatkan waktu untuk datang." Ucap Ibu Kiara mengawali pembicaraan.
"Sama-sama, bu." Jawab Bu Pelita.
"Kiara adalah anak bungsu keluarga kami, bu. Ia sangat dekat dengan ayahnya. Sebelum meninggal, saya meminta ayahnya untuk menunggu Kiara. Namun sudah kehendak Allah untuk mengambil ayahnya terlebih dahulu." Ibu Kiara mengusap air matanya dan melanjutkan ceritanya. "Sampai saat ini Kiara menolak untuk makan. Ia juga tidak berbicara sedikitpun. Hanya minum air putih, diam lalu menangis. Saya takut jika Kiara akan seperti itu selamanya, bu."
Bu Pelita mengelus tangan Ibu Kiara yang terisak pelan. "Saya mengerti, bu. Kiara adalah anak yang cerdas dan selalu membawa keceriaan untuk teman-temannya. Saya dan anak-anak akan selalu mendampingi Kiara."
"Terima kasih, bu."
Bu Pelita tersenyum. "Sama-sama, ibu. Sudah menjadi tugas saya untuk membimbing anak-anak didik saya."
Di teras, Gea dan teman-teman mengamati Kiara. Kiara saat ini tampak sangat berbeda dari Kiara yang biasanya. Penampilannya, sikapnya, semuanya seolah berbalik 180 derajat. Tak tahan melihat keadaan sahabatnya, Gea angkat bicara. "Kau sudah makan?"