“POLISI!”
Semua anak berseragam putih abu-abu yang tadinya adu jotos di persimpangan jalan, mendadak buyar sendiri-sendiri, seiring terdengarnya sirine kendaraan kepolisian yang meraung-raung memberi sinyal tanda bahaya.
Hera, gadis berambut hitam yang berdiri di barisan terdepan SMA Pancasila, tidak menghiraukan itu. Di tangannya masih tersimpan batu berukuran besar yang dibungkus plastik hitam. Lalu, dilemparkannya benda tersebut, entah mengenai siapa. Dalam tawuran seperti ini tidak kenal kawan atau lawan, tidak ada yang bisa menjamin kamu tak akan terkena pukulan oleh teman satu sekolahmu sendiri. Terlalu banyak orang di sini dan semuanya sibuk menyerang, entah siapa yang kena pukul tak ada yang peduli. Hal terpentingnya adalah, kelompokmu menjadi pemenangnya, perkara kamu terluka itu jelas bukan urusan bersama.
Hera tidak menyediakan asuransi kesehatan untuk teman-teman yang mukanya sudah mengalahkan korban kekerasan di televisi.
“Her! Cabut!” Leo yang sudah nangkring di atas sepeda motor besarnya memanggil gadis itu. Dia menoleh sesaat lalu berlari secepat mungkin. Namun sayang, sepertinya Leo memilih lokasi yang salah untuk parkir. Polisi muncul dari arah berlawanan, membuat massa kebingungan.
“LO BALIK DULUAN SAMA YANG LAIN!” teriak Hera, berlari ke arah lain di persimpangan.
Jalanan macet total siang itu, di tengah sinar matahari yang terik membakar kerongkongan, ratusan kendaraan terjebak macet. Tidak ada yang berani menghentikan perkelahian dua kubu: SMA Pancasila dengan SMA Perkasa. Sudah menjadi rahasia umum jika kedua sekolah yang sebetulnya bergengsi itu memiliki dendam pribadi.
Hera menyelinap, mengenakan jaket hitamnya rapat dan menutup kepala sambil berusaha bersikap tenang. Dengan langkah besar, dia melewati barisan kendaraan dan para penumpang yang saking penasarannya sampai turun ke jalanan, tapi tidak berani mendekat.
“Mereka menyedihkan sekali,” gumam Hera
Sebagian orang selalu saja bersikap memalukan. Mereka jauh lebih suka melihat perkelahian, memotret, memajangnya di media sosial tanpa berniat membantu menyelesaikan. Terkadang, Hera suka mengamati keadaan di sekitarnya, berpikir, dan menganalisis. Meskipun dia berandalan, tidak lulus UN berulang kali, perokok sekaligus pemabuk berat, tapi sebetulnya dia jauh lebih baik dari orang-orang yang memandangnya sebelah mata.
Setidaknya dia tidak harus berpura-pura baik, mengomentari tanpa memberi contoh atau kebanyakan menuntut seperti mereka. Dia hanya gadis biasa, menikmati masa muda sekaligus terjebak di masa lalunya.
Semua yang Hera alami, telah membentuk karakternya menjadi sosok yang sangat jauh berbeda dari sebelumnya. Dia tidak akan pernah membiarkan dirinya kalah seperti dahulu. Dia tidak sudi menangisi orang yang salah atau malah menjadi orang yang terlalu lemah.
Dirogohnya sebatang rokok dari saku celana dan menyalakannya. Asap putih mengepul ke udara. Mungkin mengganggu, tetapi mas-mas di sebelahnya malah menatap gadis itu heran. Bukan karena anak sekolah merokok sebab itu sudah biasa, tetapi mungkin wajah cantiknya. Sejujurnya dia lebih cocok disebut model majalah dengan paras cantik dan tubuh seksinya, tapi Hera tak akan melakukannya. Usianya hampir dua puluh tahun ini, masih kelas dua belas SMA, dan berkecukupan. Tinggal menggesek kartu, puluhan bahkan ratusan lembar uang seratus ribuan mengalir begitu saja. Hanya saja, bukankah ada pepatah yang mengatakan jika uang bukan segalanya?
Jika ada yang mengatakan itu omong kosong, berarti kamu adalah orang yang tak bahagia karena kekurangan dana. Namun, Hera berbeda; mamanya kaya raya, tidak pelit apalagi melarangnya meminta. Hanya saja, Hera tak pernah merasakan apa itu keluarga. Semuanya sudah hancur sejak perceraian Salma dan Hardi ketika usianya menginjak tujuh belas tahun.
Menyiksa! Benar-benar melukai perasaannya.
“Polisi?”
Hera agak kaget ketika melihat beberapa orang petugas mencari dirinya. Hera jelas tidak mau masuk kantor polisi. Bukan karena takut, tetapi dia sudah bosan saking seringnya tertangkap ketika tawuran. Mending kalau setiap kali ditangkap langsung dipenjara dalam waktu lama. Nah ini, pakai acara dibela pengacara mamanya. Bahkan Salma sendiri seperti tidak memedulikannya.
Dia mempercepat langkah, membuang puntung rokok ke selokan lalu mencari tempat persembunyian. Namun sayangnya, mereka melangkah terlalu cepat.
“Anda tahu anak perempuan berseragam SMA yang lewat sini?” Salah satu dari Polisi bertanya kepada orang di pinggir jalan.
“Tadi jalan ke arah utara, Pak.”
Sialan! umpat Hera yang sedang berada tak jauh dari mereka. Dia berlari, membuat mereka harus kucing-kucingan seperti dalam adegan film action produksi Hollywood. Namun, latarnya bukanlah jalanan indah di Eropa, hanya jalanan macet dan becek sisa hujan di kota Jakarta yang sumpek dan menyesakkan. Dan yang namanya melawan polisi, mereka sudah terlatih untuk menghadapi masalah seperti ini. Ujung-ujungnya dia ditangkap juga.
***
Di dalam kantor polisi Hera duduk menunggu Bram yang datang dua puluh menit kemudian. Lelaki berambut tipis itu menenteng tas hitam di tangan kiri, menyalami polisi lalu duduk di samping kanannya.
Seperti biasa, setelah pembicaraan alot akhirnya Hera hanya ditahan dua malam. Tidak lama, sebab masih banyak pertimbangan. Bram memang pengacara yang sangat andal dan bisa diandalkan. Sebelum pulang, dia mengantar Hera masuk.
“Kenapa kamu selalu saja seperti ini, Hera?” tanya Bramsudah kelelahan menghadapinya.
“Siapa yang ngasih tahu lo kalau gue ada di sini tadi? Dan dibayar berapa lo sama Mama untuk membela gue?” Tatapan mata Hera tajam dan menusuk.
Lelaki itu terperanjat, jelas-jelas kaget mendengar gadis muda seperti Hera bicara kasar. Namun, Bram tersenyum, dia paham apa yang Hera rasakan. Marah dan merasa tak dibutuhkan oleh Salma, ibu kandungnya.
“Aku membelamu bukan hanya karena uang, tetapi juga karena aku peduli kepadamu, Hera. Aku empati melihat keadaanmu yang merusak diri sendiri macam ini setiap hari. Kenapa kau tidak berhenti saja membuat ulah, hidup tenang dan memikirkan ujian sehingga bisa lulus tahun depan?”
“Lo meledek gue?”
Bram tersenyum lagi. “Tentu saja tidak, Hera.”
“Dengar ya, Bram! Lo boleh nggak membela gue kalau sudah bosan karena gue nggak butuh rasa kasihan dari siapa pun termasuk juga lo.” Hera bersungguh-sungguh.
“Jangan bertindak seperti ini,” kata Bram. “Baiklah, aku akan pulang. Lusa aku akan menjemputmu keluar dari tempat ini. Jika kamu butuh apa-apa jangan sungkan untuk menghubungiku, aku pasti datang secepat mungkin.”
Setelah Bram pulang Hera digiring masuk ke sel tahanan perempuan untuk menginap dua malam ke depan. Terhitung sore ini tentu saja.
Baginya ruang tahanan bukan lagi momok menakutkan karena dia sudah hafal hampir semua penghuninya. Mereka berteman baik, akrab, dan tidak semenyeramkan yang dia pikirkan di awal ketika sudah berada di dalam. Hanya saja tindak kriminal seperti apa pun tetap tak bisa dibenarkan meskipun berkelit dibalik sejuta alasan.
“Baru dua bulan lalu keluar sekarang sudah masuk lagi!”
Bu Ita, teman satu selnya geleng-geleng. Beliau masuk tahanan karena ketahuan mencopet untuk menghidupi anaknya yang masih kecil. Suaminya tidak bertanggung jawab dan lari dengan wanita lain. Dia jelas tidak mau melakukannya, hanya saja terpaksa.