“MANA REZA!”
Hera yang sudah berapi-api, baru saja menepi. Wajahnya penuh emosi tak terkendali. Sementara di belakangnya, teman-teman satu sekolah yang sudah siap berjuang, tampak tidak tenang. Ini bukan pertama kalinya terjadi penculikan dan selalu saja berakhir menyedihkan. Bukan karena kematian atau pemerkosaan, hanya saja menyisakan trauma berat bagi para korban.
Untung saja pihak SMA Pancasila tidak membawa perkara ke jalur persidangan. Mungkin sudah sejak dulu Reza diadili akibat kelakuannya. Pemuda berambut hitam nyaris sebahu tersebut akhirnya keluar juga, dengan beberapa pengiring di belakangnya. Dia tersenyum puas karena berhasil menarik Hera ke markas mereka.
Secara teknis, jika kamu bertarung di rumahmu sendiri kemungkinan menang jauh lebih besar. Sebab kamu memiliki lebih banyak kesempatan untuk curang ketimbang musuhmu. Itulah mengapa jika kita menonton sebuah laga sepak bola, tuan rumah jauh lebih sering menang daripada lawannya. Namun, tidak sepenuhnya teori ini benar, masih banyak orang-orang yang menghargai kemenangan dengan menghindari kecurangan.
Tidak tahu siapa yang salah atau siapa yang benar di sini. Kedua belah pihak sama-sama terlibat dan bersalah karena tak ada yang mau mengalah untuk menghentikan permusuhan mereka yang tidak berkesudah.
“Mana anak itu?” Hera langsung bertanya tanpa basa-basi.
Reza tersenyum. “Tenang dulu, Hera. Kalau bertamu jangan marah-marah begitu, dong! Kita duduk dulu, bicara baik-baik dan sambil minum teh mungkin.”
“Najis gue minum teh bareng bajingan kayak lo!” Hera menatapnya tajam dan tidak mau bermain-main mengikuti kemauan lelaki delapan belas tahun itu. Sudah cukup! Hera ingin mereka langsung masuk ke intinya saja. Sebetulnya apa yang dia inginkan? Jangan bilang kalau dia hanya ingin membuat Hera emosi, maka itu tidak akan berakhir baik.
“Lebih baik serahkan cewek itu sekarang!”
“Cewek? Cewek yang mana?” Wajah Reza terlihat sedikit bingung tetapi kemudian dia tersenyum kembali. Dia menoleh kepada dua teman yang ada di sebelahnya lalu memberi kode. Mereka masuk ke gedung meninggalkan kerumunan, sementara pihak Hera mulai merasa makin tidak beres. “Jadi... kalian mau mengambilnya?”
“Sudah deh, Za! Nggak usah banyak ngomong lo!” Damar yang berada di sebelah Hera sudah siap andai mereka harus bertarung sekarang. Tangan kanannya memegang batu berukuran besar yang sudah dilapisi plastik warna hitam.
Pertarungan kembali berlanjut tetapi kali ini bukan di lokasi terbuka. Di dalam area gedung tua yang dipagari seng setinggi tiga meter, tidak ada satu pun pihak yang mau mengalah. Semua berjuang mati-matian hingga titik darah penghabisan.Dengan jumlah anggota terbatas—karena tadi banyak yang tertangkap guru BK—anak SMA Pancasila agak kesulitan menaklukan lawannya. Benar-benar membutuhkan perjuangan dan tenaga ekstra. Namun, bagi Hera itu bukan masalah. Selama dia bisa menumbangkan pimpinan mereka.
Hera mengawasi muka Reza. Dia baru saja menghadiahi pemuda itu bogem mentah, tepat di muka. Alhasil, kini Reza tesungkur ke tanah.
Sial, batin Reza sambil bersusah payah bangkit.
“Hanya itu kemampuan lo, Her?” kata Reza kemudian.
Ditantang seperti itu oleh musuh besarnya, cewek itu tak keder. Dengan tenang, dia berjalan menghampiri Reza dan tersenyum. Kedua mata besar Hera benar-benar menakutkan. Lalu, diambilnya kerah baju Reza sembari berkata, “Beri tahu gue, lo mau yang seperti apa?”
Reza tersenyum lebar, tidak ada satu pun ketakutan di matanya. Malah, dia menatap Hera dengan hina seakan tidak akan mampu mengalahkannya. Meski begitu dia tahu bahwa gadis ini bukanlah orang sembarang. Reza menangkis pukulan Hera dengan satu tangan, kemudian menguncinya.
“Menyerahlah, Hera.”
“Tidak. Sebelum gue kirim lo ke neraka,” teriak Hera dengan senyum mengerikan di bibirnya. Seperti ada iblis yang menguasai tubuhnya. Hera menyerang muka Reza, tetapi kali ini dia kalah cepat. Cowok itu bisa menghindar dan berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Hera.
Reza berlari ke arah pintu gedung terbengkalai yang sekaligus markasnya itu. Dia tahu, menghadapi Hera satu lawan satu bukanlah tandingannya. Hera tak akan membiarkannya pulang hidup-hidup. Dan benar saja. Belum sepat dia meraih gagang pintu, dilihatnya Hera dengan cepat menyusulnya, kemudian melompat dan menjatuhkan satu tendang tepat di punggung Reza.
Tubuh Reza tergeletak di atas tanah. Dia nyaris tidak bisa merasakan tubuhnya sama sekali. Sementara Hera tersenyum lebar melihatnya. Lalu dengan bangga dia meninggalkan cowok itu begitu saja, menghampiri teman-temannya yang sedang berjuang sekuat tenaga dari keroyokan anak Perkasa.
Sepuluh puluh menit berlalu, darah-darah menetes di atas tanah, entah karena terkena pukulan terlalu keras atau justru terluka karena senjata makan tuan. Sedangkan Reza masih tergolek tak berdaya di atas tanah, membiarkan Hera berdiri di atasnya penuh rasa bangga. Sudut kanan bibir lelaki terluka, mungkin robek dan sebaiknya segera diperiksa. Siku sebelah kirinya juga terluka menganga, menyisakan darah segar mengalir di sana. Sementara yang lain? Setidaknya tidak ada yang perlu dibawa ke rumah duka.
“Jadi, mana anak itu?” tanya Hera bernada otoriter.
Reza yang setengah tidak sadar tak berniat menjawab. Hera tidak mau menunggu lama, dia dan anggotanya mendobrak pintu di belakang Reza, tetapi dihalangi oleh dua anak SMA Perkasa yang lainnya.
“Lo tunggu di luar! Kami akan mengambilkan.”
“Cepat! Jangan lama-lama atau gue bakar ini bangunan tua!” ancam Damar.
Di sana Reza berdiri, mengambil balok kayu dan menghampiri Hera. “Gue hanya mau lo tanggung jawab soal teman gue! Siapa yang kemarin bawa senjata tajam! Gue tantang dia adu kekuatan sama gue sekarang juga!” katanya tidak menyadari keadaannya.
“Pihak kami nggak sepengecut itu buat melanggar perjanjian ya, Za!” Damar yang mudah tersulut sumbunya memang tidak terima. Kesabarannya yang dangkal sudah habis sepertinya. Membuat Leo harus memegangi tubuhnya agar dia tidak melukai Reza yang sudah terluka.