“Papa sengaja datang untuk menemuimu, Sayang.”
Hardi sudah sangat lama tidak kembali, tepatnya ketika sidang perceraiannya dengan sang istri selesai dijalani. Dia tinggal di Singapura untuk mengurus bisnis baru yang sedang dia rintis bersama sang Kekasih. Sebetulnya, Hardi juga sering kembali ke Indonesia untuk sekadar bertransaksi dengan klien, tetapi keduanya begitu sulit bertemu. Bagaimana tidak? Salma tidak pernah suka melihat mantan suaminya itu menemui buah hati mereka.
Salma sangat membenci Hardi yang mengkhianati pernikahan mereka. Hardi berselingkuh dengan teman bisnisnya, Mega. Hera pernah bertemu dengan pacar papanya ketika liburan ke Disney Land setahun sebelum perceraian Hardi dan Salma terjadi. Ketika itu Hera tak tahu sama sekali kalau Mega bukan hanya teman bagi papanya, melainkan juga kekasih hati. Seandaikan dia tahu, pasti dia tak akan mau Mega dekati.
“Bagaimana masakan Papa, Sayang? Kamu masih suka, kan?” tanya Hardi ketika mereka berdua menikmati makan malam di atas meja makan.
“Masih kok, Pa.” Rasanya sudah sangat lama dia tidak menikmati sup ayam buatan papanya. Rasanya masih tetap sama dan tidak berubah sama sekali. “Enak.”
“Hera, Papa punya hadiah untukmu.” Hardi mengeluarkan kotak kecil berwarna merah untuknya.
Ragu, Hera menerimanya. Isinya sebuah gelang berwarna silver yang manis.
“Anggap saja itu hadiah dari Papa untuk ulang tahunmu kedua puluh beberapa bulan lagi. Papa sengaja memberikannya lebih awal. Takutnya nanti mamamu tidak mengizinkan kita bertemu lagi. Kamu tahu kan bagaimana mamamu?”
Hera memandang gelang itu dan papanya bergantian kemudian tersenyum. “Terima kasih, Pa.”
“Sama-sama, Sayang.”
Makan malam yang sederhana tetapi mampu mengobati sedikit rasa rindu di hati Hera kepada orang tuanya. Sayangnya, Hardi tidak bisa berlama-lama karena harus segera kembali mengejar pesawat pagi-pagi sekali. Namun, dia berjanji akan berusaha menemuinya lagi. Apalagi, Salma memang lebih sering keluar negeri dalam waktu yang cukup lama beberapa bulan terakhir ini.
Setelah sarapan, Hera mengantar papanya ke Bandara. Di sana, dia memeluk papanya erat, bagaimanapun juga dia tetaplah seorang anak yang merindukan orangtuanya. Sebetulnya Hera berharap papanya bisa menetap untuk beberapa hari lagi.
“Liburan semester depan datanglah ke Singapura, Nak. Papa akan mencoba bicara pada mamamu. Nenekmu di sana juga sangat merindukanmu.”
Dia mengangguk. “Salam untuk Nenek, Pa.”
“Tentu saja, Sayang.”
Sebetulnya Hera tidak yakin kalau papa dan mamanya bisa berbicara dengan baik layaknya orang normal. Mamanya adalah wanita otoriter yang tidak pernah bisa mendengarkan orang lain bahkan suaminya sendiri. Setahunya, ketika mereka masih menjadi suami-istri dulu mamanya memang lebih dominan, itulah sebabnya Hardi tidak bisa bertahan.
***
Hera sedang menonton kartun ketika Mbok Mah memberitahunya ada yang datang. Dia menuju ruang tamu. Ternyata yang datang adalah Alena, teman sekelasnya yang dikenal sering juara umum.
Alena membawa tas punggung warna merah muda dan memakai bando seperti artis Korea. Di tangannya juga terdapat dua buku tebal seukuran bantal.
“Mau apa lo?” tanya Hera mengerutkan keningnya bingung.
Alena tersenyum lebar lalu menariknya ke dalam rumah sebelum dipersilakan. Gadis penyuka K-pop itu duduk di atas sofa ruang tamu, setelah melempar tas dan bukunya ke meja panjang.
“Gue haus banget, nih,” katanya mengeluh. “Dari tadi mencari rumah lo tapi nggak ketemu-ketemu. Untung saja gue tanya ke anak-anak di grup ada yang merespons. Kalau enggak, nggak tahu deh sampai kapan gue harus muter-mutar naik ojek hanya untuk sampai ke sini.”
Hera mengangkat salah satu alis. Dia merasa aneh dengan ucapan panjang lebar Alena yang nyaris tidak ada jedanya ini.
Apa dia nggak butuh bernapas? batin Hera.
“Dapurnya mana?” Alena mengibas-ngibaskan tangannya gerah.
Hera yang masih kebingungan hanya menunjuk dengan jari telunjuknya. Menyaksikan Alena yang tanpa rasa malu mengambil sendiri air jeruk di dalam kulkas besar, serta beberapa stoples camilan.
“Sudah?” Hera bertanya setelah gadis itu duduk kembali di sofa sambil memakan chocochips di dalam stoples kaca.
“Sudah.” Dia meletakkan makannya dan membuka buku tulis miliknya. “Ayo, kita langsung mulai.”
“Mulai apa?”
“Belajar, lah. Memang mau apa lagi?” kata Alena.
Alis dan dahi Hera kembali berkerut, tapi kali ini dia lebih bingung daripada bagian awal ketika gadis itu datang ke rumahnya tanpa permisi tadi. “Tunggu dulu! Ini maksudnya apa, sih?”
“Ya ampun, Hera. Gue datang ke sini buat mengajari lo belajar. Masa begitu saja nggak ngerti sih?”
“Belajar apa?” tanyanya masih tidak paham apa yang gadis dengan rambut pendek ini maksud.