Hera melangkah pelan menelusuri lorong rumah sakit yang panjang. Beberapa meter di depan, Damar dan Leo sudah duduk berdampingan. Keduanya berdiri spontan menyambutnya dengan wajah tak karuan. Emosinya tertahan, mengimbangi amarah Damar yang tak bisa dihentikan.
“Her, bagaimana ini? Gue nggak terima melihat kondisi Deo yang kayak begini! Dia kritis.” Damar menatapnya yang juga mulai tersulut emosi. “Ini semua gara-gara Reza! Kita harus membalas perbuatan mereka!”
“Mar, lo tenang dulu.” Leo yang berada di sampingnya berusaha menenangkan. “Lo duduk dulu!”
“Nggak bisa kayak begini dong, Yo! Lo nggak lihat kondisi Deo barusan? Dia makin parah.” Dia beralih memandang Leo dengan mata memerah penuh amarah. “Kalau dia sampai kenapa-kenapa bagaimana? Kita harus memberi mereka pelajaran.”
“Terus lo mau ngapain, Mar?” Leo yang terkenal paling penyabar berusaha membuat Damar terkendalikan.
“Kita hajar mereka sekarang!” jawabnya yakin. “Her, ayo kita pergi!”
Hera menghela napas panjang dan beralih ke arahnya. “Lo jangan gila, Mar!”
“Gila? Lo bilang gue gila?” Damar menggeleng-geleng tidak percaya, Hera bukannya mendukung justru tak setuju dengan rencana balas dendamnya. “Gue nggak ngerti jalan pikiran lo, Her! Ini masalah nyawa teman kita dan lo malah diam saja? Mana jiwa persahabatan kita? Lo bilang kita satu, kalau ada yang luka, luka semua. Ini saatnya kita buktikan janji itu. Kita serang mereka.”
“DAMAR! LO BISA DIAM NGGAK?” bentak Hera membuat Damar terdiam seketika. “Lo pikir gue nggak khawatir sama Deo? Bukan hanya lo, gue juga peduli ke dia. Tapi semua itu perlu dipertimbangkan matang-matang. Jangan asal main serang.”
“Apa lagi yang perlu dipertimbangkan? Semuanya sudah jelas,” kata Damar dengan nada tak kalah tinggi.
Karena tahu apa yang mereka lakukan bisa mengganggu pasien lainnya, Leo pun akhirnya bertindak.
“Kalian sadar nggak ini di mana? Ini rumah sakit, banyak orang dirawat, sekarat dan dalam kondisi darurat. Apa yang kalian lakukan ini bisa mengganggu kenyamanan mereka, termasuk juga Deo. Jadi tolong tenang sedikit.”
“Tapi....”
“Mar, kalau lo masih mau marah-marah jangan di sini. Ikut gue. Kita cari tempat lain.” Leo menarik kawannya yang tentu saja memberontak, tetapi tak bisa menolak, sebelum sekuriti datang dan membuat ketiganya terdepak.
Sementara Hera yang sejak tadi menahan diri, akhirnya duduk di kursi bangsal rumah sakit yang sepi. Kamar Anggrek nomor dua belas yang pintunya di sebelah kanannya ini adalah ruang perawatan Deo Pradana, sahabatnya yang tengah tergolek tak berdaya. Hera menopang wajah kusamnya menggunakan kedua tangan. Memikirkan segala kemungkinan yang bisa kelompok mereka lakukan demi pembalasan dendam secara teratur dan tak memalukan. Sebab Hera sadar, jika mereka gegabah bukannya menyelesaikan masalah justru memperkeruh keadaan.
“Hai.”
Hera mengangkat kepalanya ketika mendengar suara seseorang di dekatnya. Wajahnya agak kaget ketika melihat si Korban Penculikan berdiri di sebelahnya. Namun, dia diam saja tanpa berniat menjawabnya.
“Gue Daniel,” katanya duduk di sisi lain kursi. Tepatnya di samping kanan Hera yang lenggang. “Temannya Deo.”
Ternyata Daniel adalah teman kecil Deo. Mereka berdua sudah saling mengenal sejak sekolah dasar, hanya saja sempat terpisahkan ketika memilih sekolah lanjutan, dan baru dipertemukan kembali di kelas sepuluh ini.
Yah, Deo memang tergolong masih baru. Dia resmi menjadi siswa SMA Pancasila dan bergabung dengan Hera empat bulan terakhir. Sebelum akhirnya kisah cintanya dengan Nia, anak SMA Perkasa yang juga mantan pacar Reza membuat berubah segalanya. Benar-benar tragis macam sinetron di televisi.
Lama mereka saling terdiam sampai akhirnya Hera mengajukan pertanyaan. “Deo bagaimana?”
“Tadi dia sempat kejang.” Daniel membuat Hera kaget, tetapi langsung melanjutkan penjelasannya begitu menyadari perubahan mimik lawan bicaranya itu. “Tapi dia sudah baik-baik saja kok. Sudah diberi obat penenang dan sekarang sedang tidur untuk beristirahat.”
“Syukurlah kalau begitu,” ucapnya lega.