Setelah mendapatkan perawatan, ternyata luka yang diderita Damar cukup parah. Tangan kanannya harus digips karena patah tulang, sementara di wajahnya juga terlihat beberapa luka lebam. Untuk malam ini dia diminta menginap di rumah sakit.
Damar duduk di atas ranjang ketika Hera mendorong pintu ruang perawatannya. Leo yang tengah duduk menemaninya memilih berdiri agar Hera bisa menempati kursi duduknya.
“Bagaimana rasanya babak belur? Enak?” tanya Hera kepada Damar yang saat itu nyengir kesakitan. “Sudah gue bilang kan, kalau berantem itu nggak menyelesaikan masalah. Mar, mengambil keputusan tanpa pemikiran matang, apalagi tergesa-gesa bisa menjadi bumerang. Bukannya lo membalaskan dendamnya Deo, tapi malah tubuh lo sendiri yang jadi korban. Kalau sudah kayak begini siapa yang bisa disalahkan?”
“Her, seharusnya lo menghargai gue dong. Setidaknya gue setia kawan.”
“Apa lo bilang? Setia kawan?” tanya Hera meledek. “Yang lo lakukan ini bukan bentuk dari kesetiakawanan tapi bukti kebodohan! Lo sadar nggak? Gara-gara lo, gue dan semua anak SMA Pancasila kehilangan harga diri di depan mereka. Dan gara-gara lo juga, masalah ini makin kacau.” Pandangan matanya tegas dan tajam. “Lo pikir dengan datang ke markas Perkasa sendirian bisa membuat Deo sadar? Bisa buat dia langsung sembuh seketika? Enggak! Dan sekarang lo lihat keadaan lo! Lihat tangan lo! Lo babak belur, Mar! Untung gue dan yang lain bisa datang tepat waktu, kalau enggak mungkin lo sudah mati di sana.”
“Gue nggak peduli kalau pun harus mati demi teman gue!”
“Gampang banget lo ngomong!” Mata Hera memerah. “Lo pikir kalau lo mati masalah bisa selesai begitu saja? Hah? Pakai tuh otak! Lo hidup bukan hanya untuk kami tapi juga keluarga lo. Lo nggak ingat emak lo? Adik-adik lo? Kalau lo mati siapa yang mau mencarikan mereka makan?”
Damar diam, menunduk merenungi perkataan Hera. Sejak kecil dia memang menjadi tulang punggung keluarga. Bapaknya mati ketika usianya sepuluh tahun. Sedang ibunya yang sudah tua harus mengurus kelima anak mereka. Sebagai anak laki-laki tertua, Damar terpaksa harus menggantikan posisi bapaknya. Mulai dari mencari nafkah, hingga menjadi panutan untuk keempat adiknya.
“Punya otak itu dipakai jangan hanya buat pajangan!” kata Hera.
Merasa suasana makin buruk, Leo akhirnya membawa Hera keluar dari ruangan. Bagaimanapun juga, Damar butuh waktu untuk beristirahat. Sedangkan yang lain juga berpamitan pulang karena besok pagi harus bersiap bersekolah kembali.
Keduanya duduk di bangsal rumah sakit. Leo menatapnya sambil menarik napas dalam lalu menghelanya pelan. “Her, lebih baik sekarang lo pulang dulu. Istirahat dan tenangkan pikiran lo. Untuk masalah Reza kita bahas lagi besok.” Leo memberi saran yang sangat baik dan mendapat anggukan persetujuan dari Hera Almira Dewi. “Gue tahu ini sulit buat lo, tapi gue harap lo bisa menghadapinya dengan kepala dingin. Kalau lo emosi apa bedanya lo sama Damar?” Dia menepuk bahu Hera kemudian meninggalkannya sendiri, masuk kembali ke kamar Damar.
Suasana rumah sakit kian sepi, hanya ada beberapa perawat yang berlalu-lalang melewati lorong panjang. Mereka bertugas menjaga pasien-pasiennya di malam hari. Mengecek apakah kondisinya baik-baik saja. Kemudian Hera bangkit, menyusul Leo untuk berpamitan, sekaligus mengambil kembali kunci sepeda motornya yang tertinggal di dalam ruangan.
Matanya bertatapan dengan Damar. Pemuda itu masih tak sepenuhnya berani memandang wajah Hera, akan tetapi tampak memaksakan diri. Sampai akhirnya dia menyatakan permintaan maafnya kepada gadis sembilan belas tahun tersebut.
“Gue salah, Her! Gue tahu itu,” katanya terdengar tulus.
***
Hera sampai di rumah sekitar pukul setengah dua dini hari. Mbok Mah juga sudah tidur sejak tadi. Karena dia membawa kunci pribadi, makanya bisa masuk tanpa harus membangunkan pengurus rumahnya terlebih dahulu. Maklum saja, sejak dulu dia memang sudah terbiasa pulang pagi.
Di meja ruang makan, Hera duduk sambil menghadap sewadah air es untuk mengompres luka di wajahnya. Matanya memandang sebingkai foto yang terpajang di atas bufet berisi suvenir-suvenir mamanya. Seorang anak perempuan berambut panjang tersenyum menampakkan gigi depannya yang copot, bersama anak laki-laki berseragam merah putih. Mereka terlihat sangat bahagia sampai air matanya menetes perlahan melewati pipi kemerahannya.
Hera menangis.
Namun, dia buru-buru menghapus air mata ketika suara mobil mamanya terdengar memasuki garasi. Salma membuka pintu dengan tangan menenteng tas berwarna biru. Dia menghampiri Hera begitu melihat anaknya.
“Kenapa dengan wajahmu?” tanyanya menyentuh pipi anaknya. “Hera, jawab Mama! Kamu habis berantem, ya?”
Hera diam. Kalau sudah tahu kenapa masih bertanya?
Salma melepaskan sentuhannya lalu menggeleng-geleng. “Mau kamu itu apa, sih? Kerjanya berantem setiap hari. Memang tidak ada pekerjaan lain? Gara-gara kelakuan kamu yang seperti ini makanya kamu nggak lulus-lulus. Daripada kamu tawuran nggak jelas di jalan lebih baik belajar biar bisa lulus ujian.”
“Mama itu nggak tahu apa-apa,” kata Hera, membuat Salma tidak terima.
“Aku ini mamamu. Aku yang paling mengerti kamu, Hera.” Salma menatap Hera dengan tangan menunjuk wajah putrinya. “Asal kamu tahu, selama ini Mama kerja cari uang buat siapa? Buat kamu. Mama itu ingin kamu hidup berkecukupan, bisa bersekolah tinggi dan menjadi kebanggaan. Bukan malah seperti ini. Kamu itu sebenarnya kenapa sih? Dulu kamu tidak begini.”
Kalau Mama tahu harusnya, Mama juga mengerti alasanku menjadi seperti ini, batin Hera.
“Hera, dengarkan Mama! Kamu ini perempuan. Kamu harus punya cita-cita tinggi dan mewujudkannya, bukan malah menyia-nyiakan hidup. Nanti kalau kamu sudah menikah bisa mandiri. Jangan jadi perempuan yang mau kalah dari laki-laki.”
Sebenarnya Mama bicara apa sih?
“Lagi pula apa kata orang di luar sana? Kami ini anak Salma Diana Dewi. Kamu tahu kan posisi Mama? Kamu jangan membuat malu Mama. Seharusnya kamu jaga kehormatan Mama, nama besar Mama. Mama ini membangun semuanya dari nol, jangan hancurkan dengan kelakuanmu yang tidak jelas itu.”
Sejujurnya Hera tidak paham apa arti amarah mamanya malam itu. Entah memang Salma peduli kepadanya atau hanya takut nama besarnya ternoda. Sepertinya yang kedua jauh lebih terlihat nyata.
Setelah lebih dari setengah jam mamanya mengomel dan membuat telinga Hera panas, akhirnya Hera mengangkat kepala yang sejak tadi bersandar pada kursi. Dia menatap mamanya tenang lalu berniat pergi.