Serenity

Nandreans
Chapter #6

Mama

 Hera bersandar pada tembok di balik jeruji dengan pandangan kosong, menunggu Bram datang guna membela kedua rekannya. Bagaimanapun juga, dia tidak bisa angkat tangan begitu saja, membiarkan nasib Daniel dan Damar yang terancam hukuman penjara. Mereka masih muda, memiliki harapan serta cita-cita, hingga tidak etis rasanya bila Hera membiarkannya pupus tanpa berbuat apa-apa.

Sebetulnya, kalau boleh jujur, Hera sangat iri melihat Damar. Meskipun mengomel, mamaknya datang sebagai wujud rasa peduli. Damar bingung karena mamaknya mengancam akan membiarkannya di sana dan tak mau ikut campur. Katanya, itu pantas Damar dapatkan sebab hampir setiap hari membuat ulah. Kemarin dia baru saja masuk rumah sakit, lalu sekarang masuk kantor polisi. Mana mampu keluarganya membayar pengacara untuk membebaskannya? Lebih baik dia tetap berada di sana daripada keluarganya tidak bisa makan karena menebusnya.

Sedangkan Daniel, mamanya juga datang menjenguk. Samar-samar Hera melihat wanita berambut panjang yang berbicara dengan nada amat lembut. Dia yakin mamanya Daniel jelas bukan perempuan seperti mamanya. Jangankan berbicara lembut, menurunkan nada bicaranya saja Salma sangat jarang melakukannya, kecuali jika dia sedang menjaga image-nya di mata publik.

Lalu salahkah bila dia juga berharap mamanya datang? Apakah itu terlalu sulit untuk diwujudkan? Hera hanya meminta sedikit saja rasa peduli dari Salma.

“Hera.” Suara Bram membuatnya mendongak, kemudian berdiri menghampiri. “Apa kamu baik-baik saja?”

Hera mengangguk. “Mama mana, Bram?”

Lelaki itu menjawab, “Mamamu sedang ada urusan penting, Hera. Tapi kamu tenang saja, dia mengatakan kepadaku, kalau urusannya sudah selesai Salma akan menyusul kemari.”

“Jangan berbohong, Bram. Gue tahu dia nggak pernah ngomong begitu. Lo hanya berusaha menghibur gue,” kata Hera, membuat Bram kaget. “Dia nggak akan mengurus gue karena itu hanya membuang-buang waktu.”

“Tidak begitu, Hera.” Bram menatapnya dalam. “Mamamu sangat peduli kepadamu, buktinya saja tadi dia yang menghubungiku untuk menyelesaikan masalahmu.”

Hera tersenyum sinis. “Kalau dia peduli seharusnya datang sendiri.”

Kenapa hidup terasa tidak adil baginya? Tuhan membolak-balikkan takdir sesuka hati-Nya tanpa mempertimbangkan betapa terlukanya perasaan Hera.

Setelah itu, mereka berbicara berdua di ruangan khusus didampingi dua orang anggota kepolisian berseragam lengkap. Bram memberinya beberapa pertanyaan termasuk juga bertanya mengenai pengeroyokan Deo yang menjadi akar permasalahan. Dan ketika waktu mereka habis, Hera dipersilahkan masuk kembali ke sel tahanan.

“Bram,” panggilnya membuat pria itu menoleh. “Gue tidak peduli lo bisa membebaskan gue atau nggak. Hanya saja, tolong bebaskan mereka berdua.”

Ini pertama kali dalam hidup Bram mendengar Hera begitu percaya kepadanya. Dia tersenyum kemudian pergi keluar dari kantor polisi menenteng tas hitamnya. Sementara Hera menunduk di sudut ruangan.

***

“Her, kita bisa bebas, kan?” Damar berteriak dari sel sebelah mengganggu Hera yang hampir tertidur malam itu. “Lo nggak akan meninggalkan gue sendirian di sini, kan?”

Sebetulnya Hera mendengar suaranya, dia juga masih terjaga, hanya saja enggan menjawabnya. Sengaja dia ingin mengerjai temannya itu.

“Her, jawab gue dong!” katanya bingung. “Lo jangan diam saja.”

“Tenang saja, Mar.” Daniel yang duduk di sebelahnya menepuk bahu Damar. “Kata pengacara gue, kalau kita tidak bersalah pasti bisa bebas.”

“Lo enak bisa bilang begitu! Lo punya pengacara, Hera punya pengacara. Nah, gue? Pengangguran banyak acara?”

Daniel tertawa.

“Kenapa lo senyam-senyum begitu? Senang lo lihat gue susah? Nanti kalau lo berdua bebas, nasib gue bagaimana coba? Masa gue dipenjara sendirian?” Cowok itu sangat panik.

Lihat selengkapnya