“Untung gue menuruti permintaan Bunda untuk dirawat. Kalau enggak, mungkin gue akan ikut kalian masuk kantor polisi.” Leo bersyukur mendengar cerita Hera dan Damar siang itu.
Damar sebetulnya tidak boleh keluar rumah olah mamaknya. Hanya saja dia berjanji akan menjualkan nasi bungkus sebanyak-banyaknya. Yah, dia menjualnya pada teman-temannya di markas mereka.
“Lagian bunda lo, Yo. Hanya lecet-lecet nggak seberapa saja dimasukkan ke rumah sakit. Giliran gue yang kayak begini malah disuruh cepat balik sama mamak gue.” Damar menunjukkan tangan kanannya yang masih digendong pada rekan-rekannya. “Sudah begitu pakai acara masuk penjara segala.”
“Hahaha!” Yang lain malah tertawa.
“Terus bagaimana pengalaman lo menginap di sana? Enak nggak?” goda Diki sambil membuang asap rokoknya lewat mulut.
Damar menyalakan rokoknya terlebih dahulu sebelum menjawab. “Gila! Gue nggak mau lagi masuk ke sana! Tempatnya nggak enak, tidur nggak ada kasur, ditambah orangnya seram-seram.” Dia bergidik ngeri.
“Kalau mau enak dan ada kasurnya lo salah tempat, Mar. Harusnya lo masuk hotel bukan penjara.”
“Penjara kan juga hotel.”
“Hotel apa?”
“Hotel prodeo.”
“Prodeo itu apa?”
“Sudah, Mar. Kami jelaskan juga lo nggak akan paham. Otak lo nggak sampai,” kata Angga.
Pembicaraan mereka tidak berhenti sampai di sana bahkan hingga magrib tiba. Yang dibahas masih seputar kantor polisi, Reza dan rencana balas dendam. Namun, sayangnya Hera harus pulang lebih dulu karena dia sudah gerah ingin cepat mandi dan berganti pakaian. Lagi pula kata Bram, Mbok Mah sudah membuatkannya makan malam.
Melaju dengan kecepatan sedang, motor CB Hera memasuki halaman. Dia melepaskan helm dan berjalan ke teras. Di sana, sudah ada Alena yang duduk di kursi masih lengkap dengan seragam putih abu-abu. Dia langsung kemari ketika pulang sekolah dan belum balik ke rumahnya sendiri untuk sekadar berganti baju.
“Ngapain lo?” Hera bertanya dengan tangan memasukkan kunci ke dalam saku celana.
“Nungguin lo, lah. Memang ngapain lagi?” Dia kelihatan sebal, tetapi berusaha mengendalikan diri.
“Gue lagi malas belajar,” kata Hera dengan wajah datar.
“Gue bukan mau ngajak lo belajar, kok.” Alena meyakinkan Hera. “Kata Bu Desi, hari ini lo bebas makanya gue ke sini.”
“Oh.”
“Ih, Hera! Kok lo cuma bilang OH sih? Asal lo tahu ya, gue dari tadi nungguin lo pulang di sini sampai kayak orang gila. Lo pikir badan gue nggak capek semua apa?” Alena mencerocos tanpa jeda membuat Hera pusing sendiri mendengarnya. “Lo itu nggak punya perasaan tahu nggak? Harusnya lo bilang terima kasih atau apa begitu. Hargai dong usaha gue!”
Hera hanya mengerutkan kedua alisnya. Bingung harus berbuat apa.
Alena mengibas-ngibaskan tangannya gerah. “Gue haus. Ayo, ke dapur.”
Hari ini ternyata Mbok Mah sedang ke rumah anaknya yang melahirkan. Hera baru saja membaca pesan yang dia kirimkan. Mbok Mah juga meminta maaf karena tidak bisa menyiapkan makanan untuk dirinya. Hera bilang tidak apa-apa karena dia memakluminya.
“Ya Tuhan! Demi EXO kesayangan gue, ini kamar lo?” teriak Alena dengan heboh ketika membuka pintu bercat putih gading di lantai dua.
Hera mengangguk, kemudian duduk di atas kasur. “Kenapa?”
Alena duduk di samping Hera. “Hera, lo itu cewek. Masa kamar lo kayak begini, sih?”
Untuk ukuran gadis remaja, kamar ini memang kelewat sederhana. Sebab di dalam kamar yang cukup luas dengan balkon menghadap ke depan itu hanya terdapat kasur single, almari putih berukuran besar serta televisi, dan meja kecil untuk belajar. Benar-benar hanya itu saja.
Temboknya juga dibiarkan putih polos tanpa diberi hiasan dinding seperti kebanyakan anak perempuan.
“Seharusnya lo tempel foto oppa lo di tembok ini,” Alena menunjuk bagian tembok yang berada di atas televisi. “Pasti bagus,” lanjutnya membayangkan.
“Kakek gue sudah meninggal.” Hera merebahkan tubuhnya ke atas kasur sambil menghirup lintingan tembakau kesukaannya. Bagaimanapun juga dia tidak bisa berbohong, kasur kamarnya betul-betul nyaman. Empuk sekali. Kontras dengan lantai penjara yang dingin dan lembap, tempat tidurnya beberapa malam kebelakang.
“Ya ampun, Hera!” Alena menggeleng-geleng. “Ini oppa bukan opa.”
Alena menegakkan tubuh mungilnya, menarik napas panjang, menahannya lalu mengembuskannya kasar.
“Lo punya idola nggak?”
Hera menggeleng sambil memainkan asap di mulutnya.
“Masa, sih? Gue nggak percaya.”
“Terserah,” kata Hera santai sekaligus tidak peduli.
Mata Alena berputar sebentar lalu dia duduk di samping Hera. “Her, semua orang itu pasti punya idola kali.”
“Kalau gue nggak punya, lo mau apa?” Tatapan matanya begitu tajam dan menusuk. “Memang buat apa lo memuja orang yang nggak peduli sama lo? Bahkan mereka juga nggak kenal siapa lo. Cuma buang-buang tenaga.”
Karena tidak mau memancing kemarahan Hera, akhirnya Alena langsung masuk ke kamar mandi yang ada di sana. Badannya sudah gerah semua. Setelah selesai mandi, tanpa permisi dia membuka pintu almari.
“Her, gue pinjam baju lo, ya?”
“Hmm,” jawab Hera tanpa menoleh.
“Oh my God, Hera!” teriaknya lagi.