Serenity

Nandreans
Chapter #8

Lia

 “HERA! TUNGGU!”

Suara teriakan Alena yang melengking memekikkan telinga Hera. Refleks, dia berhenti lalu menatap gadis itu berlari ke arahnya sambil menenteng tas punggung merah muda kesayangannya. Sementara tangan kirinya membawa tumpukan dua buku matematika tebal.

“Lo larinya cepat banget sih?” Alena berkomentar dengan napas terengah-engah. “Dari tadi gue panggilin tapi malah nggak berhenti.”

“Gue nggak dengar,” jawab Hera cuek. “Kenapa?”

Alena menegakkan punggungnya agar bisa menatap wajah Hera yang notabene lebih tinggi sepuluh senti darinya. “Gue mau mengajak lo belajar.”

“Gue malas.” Hera berjalan santai menuju kantin, tetapi tangan Alena menghentikannya.

Gadis itu menatap tajam kedua mata Hera, lalu dengan tegas mengatakan bahwa besok ada ulangan penting. Alena tidak mau lagi dibohongi Hera, sebab acap kali dia datang ke kediamannya untuk mengajar, Hera selalu menolak dengan sejuta alasan. Alhasil kini Hera terpaksa mengikuti kemauan Alena belajar di perpustakaan. Sebenarnya dia sangat ingin berlari, hanya saja tak tahu kenapa dia tidak bisa melakukannya. Alena membuatnya pusing bila dilawan.

Sore itu kepala Hera terasa berputar, ketika Alena menjelaskan rumus-rumus yang tidak dia pahami sama sekali. Mengingatkan kembali memorinya tentang kapan terakhir kali dia belajar dan membuka buku pelajaran. Kalau tidak salah ketika kelas dua semester genap sebelum kepergian Tora.

“Dulu gue bisa mengerjakan soal-soal kayak begini.” Hera menghela napas panjang menandakan keputusasaan.

Alena tersenyum. “Yang dulu nggak usah diingat-ingat. Buktinya sekarang lo nggak bisa menyelesaikannya, kan?”

Spontan kepala Hera mendongak, memandang wajah tenang Alena yang tertutup buku kimia. Dia benar, masa lalu memang seharusnya dilupakan. Bukan malah menjadi kenangan menyakitkan yang bisa menjebak.

“Sudah selesai belum mengerjakan soalnya?” tanya Alena mengembalikan buku kimianya lalu menghampiri Hera, satu jam kemudian. Dia melihat lembar jawaban Hera kemudian tersenyum. “Itu lo bisa mengerjakan.”

Hera menyandarkan punggungnya ke kursi.

Alena duduk dan melipat kedua tangannya ke atas meja. Dia memandang wajah Hera lalu meraih lembar jawabannya. “Ini sudah benar kok. Dan untuk ukuran orang yang nggak pernah belajar bertahun-tahun, lo lumayan kali, Her. Bahkan kalau gue boleh berpendapat, lo itu sebenarnya pintar, buktinya sekali gue terangkan langsung bisa. Coba saja kalau lo rajin belajar, bisa jadi juara kelas lo.”

“Terlalu berlebihan lo,” cibir Hera. “Sudah!” Dia mengundurkan kursinya kemudian berdiri. “Gue mau balik. Capek.”

Tangan Alena menyentuh pergelangan Hera.

“Kenapa lagi sih, Al?”

Alena tersenyum lebar. “Gue ikut balik bareng lo ya, Her? Soalnya gue nggak ada ongkos mau naik angkot, please!” pintanya bersungguh-sungguh.

“Memang lo nggak dikasih uang sama orangtua lo?”

Alena menggaruk-garuk kulit kepalanya sendiri. “Sebenarnya sih dikasih,” jawabnya membuat kening Hera berkerut meminta penjelasan. “Hanya saja gue pakai buat beli tas baru di online shop-nya Windi. Habisnya tas yang dia jual itu lucu-lucu banget tahu. Ada EXO-nya. Makanya gue ambil sebelum dibeli sama orang lain. Sudah begitu itu produk limited edition.”

“Memangnya cukup uang buat naik angkot dipakai beli tas baru?”

“Ya enggaklah. Uang itu gue gunakan untuk menambahi kekurangan tabungan gue. Ya kali uang sepuluh ribu cukup buat beli tas baru. Kalau pun bisa, sudah gue beli sama pabriknya.” Alena tertawa. “Bisa saja lo ngelawaknya?”

Alena membereskan buku-bukunya yang berserakan di atas meja dengan kecepatan ekstra, kemudian memasukkan ke tas. Setelah selesai, dia menggandeng tangan Hera. Ingin sekali Hera melepaskannya, akan tetapi Alena malah makin mencengkeramnya bila dia memberontak. Untung saja suasana sekolah sudah sepi sehingga Hera tidak malu bila ada yang melihat tingkah gadis ini.

***

Di sepanjang jalan pulang Alena tidak hentinya berceloteh tentang EXO dan beberapa artis Korea lainnya, yang tidak Hera tahu sama sekali. Untung saja dia mengenakan helm hingga suara gadis itu tidak langsung mengenai telinganya. Kalau tidak, Hera tak tahu bagaimana jadinya.

Sebenarnya sih bukan artis Korea-nya yang membuat Hera jengah. Toh, dia tidak ada masalah dengan itu. Mau artis Korea, Indonesia, Hollywood bahkan India. Hanya saja masalahnya ada pada Alena. Gadis itu benar-benar mengucapkan kata nyaris tanpa jeda, membuat Hera kadang tidak paham apa yang dia ucapkan.

“Kita makan bakso dulu, ya, Her. Gue lapar nih,” kata Alena bisa Hera lihat dari kaca spion motornya.

Hera mengangguk begitu mereka sampai di salah satu kedai bakso paling terkenal di Jakarta. Hera sengaja memesan bakso urat dengan gorengan serta segelas es jeruk, Alena memilih bakso komplet spesial, dan untuk minumannya pilihan gadis itu jatuh pada es campur. Awalnya Hera juga tidak percaya kalau ternyata porsi makan Alena melebihi dirinya.

“Kenapa? Lo pasti heran kan melihat gue makan banyak?” tebak Alena begitu menyadari perubahan mimik wajah temannya itu.

Hera tidak mengangguk sudah cukup untuk menjawab kebenaran tebakan yang Alena berikan.

“Gue ini meskipun makan segunung ya tetap segini-segini saja, Her. Nggak tahu kenapa bisa begitu. Padahal nih ya, gue ingin banget punya badan sedikit gemuk biar nggak kurus-kurus banget.”

“Menurut gue lo proporsional. Nggak terlalu kurus juga,” ucap Hera sambil menambahkan sambal ke dalam mangkuk, lalu memakan mienya terlebih dahulu sebelum memotong baksonya sendiri.

“Lo kayak El,” komentar Alena membuat gerakan tangannya terhenti. “Kalau makan bakso mesti mienya dulu, nanti kalau sudah habis baru deh baksonya di potong kecil-kecil lalu dikasih sambal sama kecap. Memang enak ya kalau cara makannya kayak begitu?”

Hera mengangguk. “Iya. Coba saja.”

“Enggak deh.” Alena melanjutkan makannya. “Oh iya, Her. Gue mau bilang terima kasih sama lo.”

“Buat?” Mata Hera menyipit. “Kalau untuk belajar hari ini gue rasa nggak usah.”

“Bukan!” Alena menggeleng. “Tapi karena lo sudah nolongin adik gue.”

“Adik lo?”

Alena mengangguk. “Kata Daniel, lo yang sudah menyelamatkan dia waktu diculik beberapa hari yang lalu.”

“Jadi Daniel adik lo?” Hera tak menyangka.

“Adik sepupu tepatnya.” Alena memasukkan kubis ke dalam mangkuknya agar lebih segar. “Almarhum papa Daniel itu adiknya mama gue.”

“Oh.” Hera menyeruput kembali kuah baksonya.

“DANIEL!” teriak Alena membuat meja mereka menjadi pusat perhatian. Seketika Hera menatapnya tajam namun Alena malah tersenyum lebar. “Gue manggil Daniel,” katanya.

“Mana Daniel? Nggak usah mengada-ada ya lo, Al!” tegas Hera.

“Gue benar manggil El kok. Itu dia!” Kali ini Alena menunjuk ke arah luar kedai. Seorang cowok menggandeng anak perempuan berseragam merah muda. Dia menoleh kepada Alena yang melambaikan tangan ke arahnya. “Sini, El! Makan dulu!”

Hera melirik Alena diam-diam. Bukankah dia sudah tidak punya uang? Kenapa mengajak orang lain makan bareng? Nanti yang bayar siapa? Pasti gue lagi. Merepotkan.

“Kalian sudah lama?” tanya Daniel.

“Lumayan.” Alena menggeser tubuhnya agar Daniel dan adiknya bisa duduk berdampingan. “Kalian dari mana?”

“Dari apotek.”

“Ngapain?”

“Beli pulsa!” kata Daniel bercanda. “Ya beli obat lah, Al. Aneh lo!”

Lihat selengkapnya