Hera menghentikan laju sepeda motornya begitu dia sampai di depan gerbang rumahnya yang tinggi menjulang. Kemudian dia memilih turun dan membukanya sendiri menggunakan kunci kecil dalam saku celana karena yang dia tahu Mbok Mah baru akan kembali besok pagi.
Sementara itu di dalam mobil sedan cokelat di seberang jalan, seorang pria berusia dua puluh satu tahun menarik napasnya perlahan lalu menghelanya setelah menahannya beberapa detik. Rangga membuka pintu mobilnya dan memanggil nama Hera, sampai membuat gadis itu berbalik memutar tubuhnya agar bisa berhadapan dengannya. Hera tertegun melihat siapa yang kini berdiri di hadapannya.
Rangga tersenyum, tetapi pandangannya langsung berubah ketika menyadari sesuatu yang ganjil dari penampilan Hera. “Kok kamu pakai baju SMA, Ra?” tanyanya.
“Bukan urusan lo,” jawab Hera sinis sambil membuang muka ke arah lain. Dia enggan menatap wajah mantan pacarnya lebih lama.
Di wajah Rangga tampak guratan sesal. “Apa ini gara-gara aku?”
Hera menatapnya dingin. “Pede banget lo?”
Mereka saling terdiam untuk beberapa detik berikutnya. Tidak ada yang mau memulai pembicaraan sampai akhirnya Rangga membuka mulutnya.
“Kamu sudah banyak berubah, Ra.” Ada kekecewaan dari nada bicaranya. “Kamu dulu tidak seperti ini.”
Hera bergeming mencoba menahan emosi yang meluap-luap di dalam dadanya.
“Kenapa, Ra?” tanya Rangga sekali lagi. “Mana Hera yang aku kenal dulu? Hera yang lembut, manis dan tidak pernah bersikap buruk pada orang lain. Kenapa kamu malah jadi kayak begini, Ra? Kenapa?” Sorot matanya menandakan kekecewaan yang sangat dalam. “Kenapa kamu berubah, Ra?”
“Aku mau lihat kamu yang dulu, Ra,” lanjutnya.
“Buat apa?” Hera menatap matanya tajam. “Biar bisa lo sakiti?”
“Bukan begitu maksudku, Ra!” Rangga terlihat sangat menyesal. “Justru aku datang ke sini untuk meminta maaf sama kamu.”
Hera tersenyum meledek. “Apa cuma itu yang bisa lo lakukan? Perasaan, dari dulu lo selalu bilang begitu deh, Ga! Setiap lo melakukan kesalahan lo selalu bilang maaf, tapi lo juga selalu mengulanginya lagi! Lo itu nggak pernah bisa berubah, Ga.” Suaranya tenang dan tegas, tetapi penuh luapan kemarahan yang ditahan.
“Sama halnya dengan hubungan lo sama Kayla. Lo bilang itu terpaksa lah, dijodohkan lah dan ujung-ujungnya bilang maaf. Tapi ternyata? Kalau lo terpaksa nggak mungkin dilanjutin, kan?”
“Waktu itu aku benar-benar terpaksa, Ra!” Rangga mencoba meyakinkan.
“Mana gue tahu, Ga! Mana gue tahu lo jujur atau bohong?” Ini sebuah pernyataan. “Kalau setiap omongan yang keluar dari mulut lo nggak pernah bisa dipegang.”
“Ra, dengarkan aku dulu!” pinta Rangga, tulus. “Aku sayang sama kamu.” Dia bersungguh-sungguh.
“Maksud lo apa sih, Ga?” Hera menelan ludahnya, kecut. “Buat apa coba lo datang ke sini setelah bertahun-tahun nggak ada kabar dan bilang sayang? Ga, orang itu kalau sayang nggak mungkin meninggalkan orang yang dia sayangi dalam kondisi paling rapuh!” katanya menatap mata Rangga dalam dan mencoba setegar mungkin. “Dan dengan semua yang sudah lo lakukan ke gue selama ini, apa masih pantas lo ngomong sayang?”
Rangga tidak bisa menjawab pertanyaan Hera. Dia sadar bahwa apa yang telah dia lakukan memang tak termaafkan. “Tapi, Ra. Kamu harus percaya kalau aku benar-benar sayang sama kamu.” Rangga membuka mulutnya setelah mereka diam cukup lama.
Hera menggeleng-geleng. “Sudah deh, Ga! Kalau tujuan lo datang ke sini cuma buat ngomong nggak penting, apalagi ngajak gue berdebat, lebih baik lo pulang sana! Gue masih banyak urusan!” Tangan Hera mendorong gerbang bersiap masuk, akan tetapi Rangga menahannya.
“Tapi buat aku ini penting, Ra.”
“Sayangnya buat gue enggak, Ga!” Hera masuk dan mengunci gerbang rumahnya yang setinggi tiga meter itu rapat. Meninggalkan Rangga yang menatapnya dalam ratap. Rangga menghela napasnya pendek dan keras, sebelum akhirnya kembali masuk ke mobilnya.
***
Di sinilah Hera sekarang, menyendiri di balkon kamarnya yang menghadap langsung ke halaman depan kediaman mamanya. Rumah mewah yang sudah dia tempati selama hampir empat tahun, sejak berakhirnya mahligai rumah tangga penuh drama Hardi dan Salma di meja persidangan pengadilan agama. Membuatnya yang kala itu masih remaja harus bisa beradaptasi, menata kembali hidup barunya yang hancur berkeping-keping, serta mencoba melupakan kenangan-kenangan manis bersama mendiang Tora di rumah lama mereka.
Kalau boleh jujur, rumah ini jauh lebih megah daripada rumah mungil tempat tinggal mereka di kawasan Jakarta Selatan yang dulu dibelikan Hardi untuk Salma sebagai hadiah pernikahan mereka, dan telah ditempati selama lebih dari dua puluh lima tahun lamanya. Namun bagi Hera rumah ini seperti tidak bernyawa. Semuanya sunyi dan tidak ada yang berarti. Dia rindu rumah lamanya. Rumah, masih ada kasih sayang walaupun Salma memang tidak pernah menjadi mama yang dia inginkan. Namun, setidaknya dia masih punya Tora, satu-satunya orang yang sangat dia cinta dan mencintainya tanpa pamrih.
Andaikan dia masih ada di sini mungkin dia akan memeluknya saat ini. Nyatanya Tora sudah meninggalkan dunia. Dia sudah tenang di sisi Tuhan.
Air mata Hera jatuh membasahi pipi ketika teringat hari kematian Tora. Dia masih ingat dengan jelas ketika kakaknya terkapar di atas aspal jalanan yang menghitam sisa hujan. Dia yang saat itu berdiri di garis finish berlari memeluk Tora, lalu menopang kepala kakaknya yang berlumuran darah. Tora tidak bicara apa-apa, dia hanya tersenyum lalu menutup mata untuk selamanya. Kemudian Hera menangis sambil memeluknya.
Memorinya menetap di sana untuk waktu yang sangat lama.
Hera menyeka air mata dan mulai membentuk kepalan pada kedua tangannya. Dia ingat betul ketika dirinya harus menerima perjalanan menyakitkan. Saat itu dia membutuhkan Rangga, tetapi kau tahu apa yang dia lakukan? Rangga pergi begitu saja tanpa penjelasan.
Rangga memang salah telah menabrak Tora tetapi saat itu dia pikir Rangga tidak sengaja. Dia tidak pernah benar-benar percaya kalau Rangga tega menghabisi nyawa orang sebaik kakaknya. Tora adalah orang yang sangat baik kepada siapa pun. Bahkan seingat Hera, kakaknya sama sekali tak mau membuat orang kecewa, malah terkadang Tora rela menyakiti dirinya sendiri hanya untuk membuat orang yang bahkan baru dikenalnya bahagia. Berbulan-bulan dia menunggu Rangga menjelaskan semua itu kepadanya dengan alasan paling masuk akal, tetapi dia tidak pernah kembali. Rangga seperti lenyap ditelan bumi. Malah dia mendapatkan kabar kalau ternyata Rangga justru kembali melanjutkan hubungannya dengan Kayla, satu lagi orang yang membuatnya benci kata maaf.
Kayla dulunya adalah sahabat terbaiknya yang dengan tega mematahkan rasa percaya Hera kepadanya.
Hera menoleh ketika mendengar suara pintu kamarnya diketuk. “Masuk!” katanya mempersilahkan.
Damar masuk dengan napas terengah. “Ra, lo harus tahu ini! Ada yang nantangin lo balapan!”