Sesampainya di rumah Hera langsung masuk ke kamar dan berganti pakaian. Dia mengenakan kaus hitam polos dengan celana kain pendek senada. Rambut panjangnya dikucir kuda. Sementara di tangan kirinya terpasang gelang karet yang menambah kesan tomboy dari penampilannya.
Hera duduk di tempat tidur dengan punggung bersandar pada bantal yang ditumpuk. Kemudian mengambil tas pemberian Alena dan mengeluarkan kotak berbungkus kertas kado warna-warni dari dalamnya. Dia menimbangnya sebentar, mengocok-ngocoknya lalu memutuskan merobek kertas kado yang membalutnya kasar. Lalu, dengan rasa penasaran dia membuka penutup bagian atas kotak tersebut dan menemukan sebuah boneka beruang berwarna merah muda di sana.
Hera agak kaget awalnya tetapi tidak tahu kenapa dia malah tersenyum.
“Apa-apaan sih Daniel?” katanya sambil melemparkan boneka itu ke atas kasur begitu saja. Dia pikir Daniel akan memberinya sesuatu yang lebih berguna seperti sepatu atau semacamnya, bukan malah boneka yang jelas-jelas tidak cocok dengan kepribadian Hera. Dia adalah ketua anak Pancasila, mana bisa bermain boneka merah muda? Ini sungguh gila, batinnya.
Ketika hendak membuang bungkusnya, Hera melihat selembar kertas yang diselipkan Daniel di dalam kotak tersebut. Dengan alis mengerut akhirnya Hera mengambil dan membukanya. Itu adalah surat.
SELAMAT ULANG TAHUN YANG KE-20, HERA. –DANIEL.[a1]
Begitu tulisannya. Begitu singkat dan padat. Tidak ada kata-kata pemanis layaknya surat ucapan yang dulu pernah Hera terima kala Tora masih ada. Ditulis tangan dengan gaya tulisan Daniel yang sangat buruk dan nyaris tidak terbaca. Namun, tidak tahu kenapa dia sangat menghargainya. Hera menyukainya. Sangat menyukainya.
Eh, tunggu dulu! Dari mana Daniel tahu kalau hari adalah hari ulang tahunnya? Bukankah Hera tidak pernah memberitahunya, ya? Apa dari Alena? Argh, sepertinya tidak! Karena Hera sendiri bahkan lupa bila dirinya sedang berulang tahun hari ini.
Lalu siapa yang memberitahunya?
Hera meraih ponselnya di atas meja ketika suara lagu Hilang milik grup band Kotak terdengar dari sana. Dia tersenyum sekali lagi saat melihat nama Daniel tertulis di atas layarnya. Dia tidak langsung mengangkatnya. Begitu panggilan kedua, barulah dia menggeser tombol hijau kemudian menempelkan ponselnya ke telinga.
[Halo, Ra.] Suara Daniel terdengar lemah, mungkin dia masih tidak enak badan seperti yang dikatakan Alena.
“Ada apa?”
Hera bisa merasakan suara tawa Daniel. [Kadonya sudah diterima?]
Hera mengangguk seakan Daniel bisa melihatnya. “Lo tahu dari mana kalau hari ini gue ulang tahun?” tanyanya penasaran.
Daniel tertawa lagi. [Dari kantor polisi,] katanya membuat Hera kaget.
“Maksudnya?”
[Jadi waktu kita masuk kantor polisi, gue nggak sengaja melihat tanggal lahir lo pas Bu Polwan mengisi identitas lo. Terus gue hafalin tanggalnya.]
Hera tersenyum, merasa tersanjung, tetapi berusaha menahannya agar Daniel tidak besar kepala.
[Lo suka nggak sama kadonya?] tanya Daniel.
“Yeah, lumayan.” Hera menjawab sambil mengubah posisi duduknya agar lebih nyaman. “Nggak buruk-buruk amat walaupun nggak ada gunanya.”
[Kok nggak ada gunanya sih?] Suara Daniel tidak terima.
“Memang boneka bisa buat apa? Nggak ada, kan?”
Daniel menghela napas pendek. [Kata siapa boneka nggak berguna?] Dia terdengar tidak setuju dengan opini yang Hera sajikan. [Banyak kali kegunaannya. Bisa buat teman tidur, dipeluk atau sekadar jadi hiasan rumah.]
“Iya... iya...!” potong Hera sengaja. “Terserah lo saja!” Entah kenapa dia suka membuat Daniel kesal. Apalagi kalau dia sudah ngambek seperti anak kecil. Merajuk dan banyak bicara. “Oh iya, kata Al lo sakit ya? Sakit apa?” tanya Hera.
[Belum tahu, Ra. Hasil pemeriksaannya baru keluar besok, tapi kayaknya memang hanya demam biasa saja. Nggak ada yang perlu dikhawatirkan.]
“Baguslah kalau begitu,” kata Hera membuat Daniel tersenyum bahagia.
[Ra, dapat salam dari Lia!] katanya.
“Salam balik dari gue buat dia.”
[Iya, nanti gue sampaikan kalau dia sudah balik. Sekarang dia lagi makan sama Mama dan Papa di kantin.]
“Papa? Bukannya bokap lo sudah meninggal ya?” tanya Hera bingung.
[Bukan papa kandung tapi....]
“Ayah tiri?” sambung Hera sebelum Daniel melanjutkan kata-katanya.
[Iya bisa dibilang begitu.]
Hera menoleh ke arah pintu kamarnya ketika Mbok Mah mengetuknya pelan. “El, sudah dulu, ya! Teleponnya gue matiin soalnya Mbok Mah manggil,” pamit Hera sebelum menggeser tombol merah pada ponsel pintarnya kemudian berdiri dan membuka pintu kayu putih gading kamar tidurnya. Mbok Mah berdiri di depan sambil membawa bingkisan kecil di tangan kanan dan menyodorkannya kepada Hera.
“Apa ini, Mbok?”
“Nggak tahu, Neng. Itu tadi dari Neng Kayla.”