“Hera?” Alena yang baru saja membuka pintu ruang BK, kaget ketika melihat Hera. Gadis itu berdiri di dekat pintu layaknya orang menunggu. “Lo....” Alena tergagap seperti orang yang menyembunyikan sesuatu. Dia takut kalau sampai Hera mendengar apa yang baru saja dia bicarakan dengan Bu Desi di dalam.
“Gue salah,” kata Hera tiba-tiba sambil menatap mata Alena.
Alena mengangkat sebelah alis, berusaha mencerna apa yang baru saja keluar dari mulut sahabatnya. “Maksud lo?” tanyanya.
“Ini soal yang kemarin. Gue salah sudah menampar lo,” jawab Hera.
“Tunggu dulu!” Alena memotong ucapan Hera yang sebenarnya sudah selesai itu, lantas mengajukan tebakan, “Jadi lo minta maaf ke gue?” Ada binar bahagia di kedua matanya.
Hera mengangguk lalu pergi meninggalkan Alena
Sambil tersenyum lebar, Alena menyusul langkah cepat Hera. Dia menggandeng tangan kanan Hera dan menyandarkan kepalanya di pundak gadis itu, tanpa pernah mau tahu bagaimana perasaan Hera terhadap kelakuannya.
Kalau boleh jujur, Hera sangat risi. Dia tidak nyaman, tetapi menentang kemauan Alena tetaplah sebuah kesia-siaan. Gadis berusia delapan belas tahun berambut pendek di sebelahnya ini tak pernah suka ditentang apalagi kalau dia sudah menyukai sesuatu. Al tidak akan pernah melepaskannya.
“Nanti sepulang sekolah kita belajar kimia lagi ya, Her?”
Hera menjawab, “Terserah.”
“Kok lo masih cuek sih? Senyum dong!” Tangan Alena menarik kedua ujung bibir Hera ke atas hingga menciptakan lekungan senyum meskipun terbentuk dengan paksa. Lalu dia ikut-ikutan tertawa. Menertawakan wajah Hera yang berubah aneh karena kelakuannya. “Lo lucu banget tahu nggak?”
Hera yang merasa geli, akhirnya menampik tangan Alena dan berkata, “Lo apaan sih? Risi tahu!” Kemudian bergegas menuju pintu kelas mereka yang berada di pinggir lapangan olahraga.
Sementara Alena tertawa cekikikan menyadari kekesalan di wajah Hera. Entah kenapa Alena suka sekali melihat Hera cemberut, padahal wajahnya jauh dari kata imut. Malah kalau sedang marah, Hera akan tampak seperti siluman menakutkan. Seharusnya Alena tidak bermain-main dengan bahaya.
Sepanjang pelajaran berlangsung, tangan Hera tidak berhenti menekan tombol-tombol kecil di layar ponsel pintarnya. Bukan karena dia sibuk berkirim pesan dengan seseorang, melainkan malas mengikuti pelajaran. Dia sibuk bermain permainan daring yang sedang digandrungi oleh anak muda zaman sekarang.
Damar menepuk bahu Hera. “Dipanggil Alena,” katanya berbisik.
Hera mengangkat kepala dan menoleh ke arah bangku terdepan yang diduduki Alena bersama salah seorang temannya. Dia melihat gadis itu tersenyum lebar, menampakkan deretan gigi putihnya yang berjajar rapi dengan kedua tangan diacungkan membentuk huruf V. Hera mengerutkan dahi heran, tak paham apa maksud gadis itu melakukan hal demikian. Benar-benar aneh, batinnya. Lalu dia buru-buru melanjutkan permainan sebelum menderita kekalahan.
Sepulang sekolah ketika Hera berjalan menuju tempat parkir, dia melihat motor besar milik Akbar berhenti di depan gerbang sekolah. Cowok bertindik di telinga dan bibirnya itu melambaikan tangan ke arahnya. Lalu Hera menghampirinya dan bertanya mengapa dia berada di sana.
“Gue nungguin lo!” jawab Akbar sambil menyesap sebatang rokok di tangan kirinya yang diapit jari tengah dan telunjuk. Dia juga menawarkan sebungkus rokok di tangannya yang lain pada Hera.
Hera menerimanya dengan senang hati, menyalakan dan menghirupnya nikmat. “Ngapain?” tanya Hera pada akhirnya, sambil mengembalikan korek api Akbar yang dia pinjam.
Lelaki itu menerimanya dan memasukkan korek warna hijau muda tersebut ke dalam saku celana. “Ada balapan nanti malam, di tempat biasa. Kalau lo mau datang saja.”