“Bagaimana, Bram?” tanya Hera setelah hampir sepuluh menit lelaki itu mondar-mandir sambil menempelkan ponsel di telinga. Bram sedang berusaha menghubungi Salma. Namun, lelaki itu hanya menggelengan. Salma tidak mengangkat panggilannya.
Hera menghela napas panjang. Dia sudah menduga kalau mamanya tidak akan bisa datang ke kantor polisi malam ini. Salma pasti sedang sibuk bekerja saat ini, mengurusi saham-sahamnya yang berharga dan melupakan anaknya. Hera paham posisinya dan itu tidak akan pernah berubah. Percuma saja Bram terus berusaha menghubungi Salma karena mamanya tidak akan pernah mengangkatnya.
Hera menyandarkan punggungnya di kursi, menarik napas panjang lalu mencoba bersikap wajar. Malam ini dia dan semua anak Slasher—yang tidak berhasil kabur menghindari kejaran polisi—terpaksa digelandang ke tempat sialan ini. Dan saking seringnya dia datang, kepala polisi sampai hafal kepadanya.
“Kamu lagi!” kata pria berseragam dinas abu-abu itu ketika Hera muncul dari balik pintu. “Sampai bosan saya melihat wajahmu, Hera.” Dia menggeleng-geleng. “Namamu Hera, bukan?” lanjutnya memastikan.
Hera mengangguk, kemudian duduk di sofa kosong yang berada di dekat pintu keluar.
Si inspektur polisi berdiri menyambut Bram yang menyusulnya dari belakang. Lelaki paruh baya tersebut membawa tas hitam di tangan kanannya. Mereka bersalaman lalu duduk berdampingan.
Selama pembicaraan membosankan itu berlangsung, Hera sama sekali tidak tertarik untuk mendengarkan. Sampai kemudian, inspektur polisi memberinya syarat kebebasan. Hera akan dibebaskan dengan syarat kedua orangtuanya lah yang harus datang sendiri kemari. Dan sampai kini mamanya tak bisa dihubungi.
Bagi Hera tidak masalah kalau malam ini dia menginap di sini, tetapi Bram tidak akan mengizinkan hal itu terjadi. Ini tanggung jawabnya, Bram akan berusaha membebaskannya.
Akhirnya satu ide muncul dari kepala Bram. Dia menghubungi Hardi. Kebetulan ayah kliennya itu sedang berada di Jakarta untuk menyelesaikan urusan bisnisnya. Semoga saja Hardi belum kembali ke Singapura.
“Bisakah kamu datang ke kantor polisi sekarang, Mas Hardi?” Bram tak mau basa-basi.
Suara Hardi terdengar cemas. [Memang ada apa, Bram?]
“Tidak. Ini ada sedikit masalah dan kamu harus ke sini secepatnya.”
[Baiklah!] kata Hardi. [Aku akan berangkat ke sana, kamu bisa mengirimkan lokasimu padaku?]
“Tentu saja.”
Setelah itu Bram duduk di sebelah Hera. Dia memperhatikan gadis ini dengan saksama. Hera gadis yang manis sebetulnya, kalau saja kelakuannya tidak kelewatan batas seperti ini. Andai saja Hera bisa sedikit mencintai dan tidak menyiksa dirinya sendiri, pastilah kehidupannya akan jauh lebih baik. Yah, Bram ingat sekali, sebelum Tora pergi Hera tidak begini.
Kepergian kakaknya telah menyisakan luka lebar dan menganga di dada Hera.
***
Ketika Hardi melihat anaknya, dia tampak sangat kecewa. Dia tidak menyangka kalau Hera bisa melakukan hal sebrutal ini. Balapan liar dan bergabung dengan geng motor bukanlah pergaulan yang baik. Dia hanya menatap Hera ketika mereka bertemu di lorong kantor polisi, tepatnya setelah Hardi bertemu dengan inspektur polisi.
Hera mengikuti langkah papanya menuju parkiran. “Papa sangat kecewa padamu, Hera!” kata papanya, membuat Hera tidak enak sendiri. Dia menunduk dan diam saja, tanpa berbicara apa-apa.
Di sepanjang perjalanan pulang mereka saling terdiam. Entah mengapa atmosfer di dalam mobil Sedan papanya membuat Hera tidak nyaman. Sesampainya di rumah, Hardi ikut turun dan berkata padanya, “Bawa kopermu masuk ke mobil!”
“Koper apa, Pa?” tanya Hera bingung.
Mbok Mah membuka pintu dan menyeret dua koper berukuran besar yang biasanya digunakan Hera untuk bepergian. Ini apa maksudnya? Dia tidak paham.
“Mulai malam ini kamu ikut Papa tinggal di Singapura. Papa tidak mau mengambil risiko lebih besar, Hera. Pergaulanmu terlalu liar, Papa sangat mengkhawatirkanmu.”
“Tapi bagaimana dengan Mama, Pa?” tanya Heracemas.
“Mamamu bisa menjaga dirinya sendiri!” tegas Hardi. “Lagi pula dia tidak peduli padamu, kan?”
Hera menghela napas panjang kemudian menggeleng. “Tapi, Pa!”
Ketika mereka berdua berbicara tiba-tiba saja Honda Jazz Salma memasuki halaman rumah. Wanita separuh baya itu langsung membuka pintu mobilnya dan menarik tangan Hera. Dia tidak rela anaknya berdekatan dengan mantan suaminya.
“Mau kamu bawa ke mana anakku, Hardi?” kata Salma sambil menatap mata lelaki itu tajam.
“Dia juga anakku, Sal!” kata Hardi tegas. “Bukan hanya anak kamu!”
“Iya, aku tahu! Tapi mau kamu bawa ke mana dia pakai bawa koper segala?” Bibir Salma bergetar. Dia sangat takut kehilangan anaknya. Dia takut Hardi mengambil Hera darinya.
“Hera harus tinggal denganku!”
“Apa?” Alis Salma mengerut tidak percaya. “Tapi kenapa? Hera bahagia tinggal denganku dan yang jelas....”
“Yang jelas apa, Salma?” potong Hardi. “Kamu itu nggak bisa ngurus anak!”
“Hei! Enak sekali ngomong kayak begitu?” Salma tidak terima.
“Memang benar, kan? Kalau kamu bisa ngurus anak tidak mungkin Tora meninggal!”
Mendengar nama Tora disebut, mata Salma mulai berkaca-kaca.
“Kamu tidak bisa sepenuhnya menyalahkanku, Hardi.”
“Lalu siapa lagi yang harus kusalahkan, Salma? Coba saja kalau dulu kamu lebih perhatian sama dia, mungkin Tora tidak akan kecelakaan!”
“Kamu tanya di mana perhatianku? Kamu sendiri ke mana?” Salma menunjuk wajah Hardi dengan telunjuknya. “Kamu malah selingkuh, kan? Dan kamu tidak lebih baik daripada aku!”
“Tapi semuanya memang berasal dari kamu, Salma!”
“Aku ini kerja, Hardi! Kerja! Nggak main-main, apalagi pacaran kayak kamu!” kata Salmasinis.