Serenity

Nandreans
Chapter #14

Jelas

Suasana SMA Pancasila sangat ramai pagi itu, dikarenakan hari ini guru akan membagikan rapor hasil belajar para siswa. Namun, pagi ini Hera duduk di bangku taman belakang sekolah sambil memainkan layar ponsel hitamnya. Dia tidak yakin kalau mama atau papanya akan datang mengambilkan rapor hasil belajarnya. Mereka berdua pasti tak akan datang lagi, sama seperti semester sebelum-sebelumnya. Dan, alasannya selalu sama seakan menegaskan bahwa dia tak lebih berharga daripada bisnis orangtuanya. Lalu jika mereka sudah tidak peduli, kenapa harus memperebutkannya?

“Dari tadi gue cari ternyata lo ada di sini.”

Suara Daniel membuat Hera menoleh. Pemuda bermata indah itu tersenyum kepadanya dengan lebar, kemudian duduk di sampingnya dengan kedua tangan dimasukkan ke saku jaket merah yang dia kenakan.

“Lo kenapa?” tanya Daniel saat melihat ada yang lain di wajah Hera. “Kok wajah lo merah-merah begitu?” lanjutnya menyentuh pipi Hera menggunakan jarinya. “Badan lo juga hangat.”

“Gue semalam nggak bisa tidur!”

“Karena kepikiran gue?”

Hera menggeleng. “Bukan. Di rumah Damar banyak nyamuknya. Sudah begitu kasurnya nggak cukup buat tidur banyak orang. Alhasil gue tidur di ruang tamu, makanya jadi masuk angin.”

“Hahaha.” Daniel tertawa lepas sambil memegangi perutnya.

“Kok lo ketawa sih?” Hera tidak terima. Dia tampak sangat kesal dengan bibir terlipat. “Ngeselin banget!”

“Iya, maaf! Jangan ngambek begitu dong!” Daniel mengusap puncak kepala Hera dan mengacak rambut panjang gadis itu gemas.

“Daniel! Bisa diam nggak?” Hera menepis tangan Daniel dan merapikan rambut panjang terurainya menggunakan jari. “Berantakan, kan.”

“Iya... iya....” Daniel tersenyum lebar. “Makanya kalau dibilangan itu nurut. Semalam kan gue sudah bilang, lo pulang saja tapi lo malah nggak percaya. Ya sudah, silakan dinikmati gatal-gatalnya!”

Mata Hera meliriknya tajam.

“Wow! Jangan ngelihatin gue kayak begitu dong, Ra!” kata Daniel. “Kan, gue jadi takut!” Lalu dia tertawa lagi.

Hera mencubit lengan Daniel dan membuat pemuda itu meringis kesakitan. Namun, Daniel justru senang mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan tersebut dari Hera. Entah mengapa, tapi yang jelas El sangat bahagia.

“Sakit, Ra!” rintihnya sambil mengusap-usap lengannya sendiri. “Lo tega banget tahu nggak!”

“Biarin saja! Habisnya lo ada orang kesusahan malah diledekin!” ucap Hera membuang arah pandangnya ke barisan bunga mawar di sisi lain taman.

Daniel melepaskan jaketnya dan memasangnya ke tubuh Hera. Hampir saja gadis itu terkejut karenanya.

“El!” Gadis itu menatap Daniel tak percaya.

Daniel kembali tersenyum padanya. “Semalam kan lo sudah meminjamkan jaket lo ke gue. Nah, sekarang gantian. Lo nggak boleh nolak!”

Pagi itu semua berjalan menyenangkan bagi Hera. Dia banyak tertawa bersama El. Lelaki itu telah membuatnya bahagia walau sesaat karena detik berikutnya suara Alena yang memekikkan telinga berhasil merusak mood-nya dengan sangat cepat.

Sialan! Mau apa lagi dia? batin Hera

“Hera! Semalam lo ke mana saja? Kenapa telepon gue nggak diangkat?” cecar Alena nyaris tanpa jeda seperti biasanya. Kadang Hera bingung, apakah Alena tidak butuh bernapas ketika sedang berbicara? “Gue peduli sama lo. Gue cemas. Nyokap lo juga terus-terusan telepon gue tahu nggak? Kalian berantem, ya? Jawab dong! Jangan diam saja!”

Lihat selengkapnya