Serenity

Nandreans
Chapter #15

Tora

“INI MAKIN MEYAKINKANKU KALAU KAMU ITU MEMANG NGGAK BECUS MENGURUS ANAK!”

Sesampainya di rumah yang Hera dengar lagi-lagi adalah suara pertengkaran kedua orang tuanya. Salma dan Hardi tak berhenti saling menyalahkan. Masing-masing dari mereka merasa paling benar, sementara yang lain adalah pihak paling salah atas buruknya nilai rapor Hera.

Menurut Hardi ini salah Salma, sebab mantan istrinya itu kurang bisa mendidiknya. Sedang menurut versi Salma, justru Hardilah yang paling berdosa, karena tidak peduli lagi pada Hera semenjak ada Mega di antara mereka.

“Tidak usah menutupi kesalahanmu dengan kematian Tora, Hardi! Semua ini sudah jelas! Ini semua gara-gara istrimu!” Salma menatap Hardi tajam ketika mereka kembali beradu argumen di ruang tamu.

Lelaki itu tidak terima orang yang dia cinta dihina oleh Salma. “Nggak usah bawa-bawa Mega, Sal! Ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan dia!”

“Lalu hubungannya dengan siapa?”

Hera hanya bisa duduk di sofa sambil memijit-mijit keningnya sendiri. Kepalanya pusing sekali.

“Ayo, Ra! Kamu ikut Papa,” kata Hardi sambil menarik tangan anaknya.

Salma merebutnya. “Enak saja kamu main bawa anakku!”

“Apa-apaan sih kamu, Sal?” Hardi menatap perempuan itu tak kalah tajam. “Sudah! Pokoknya Hera harus ikut tinggal bersamaku dan Mega.”

“Enggak, Pa!” kata Hera membuat kedua orangtuanya kaget. Terutama Hardi tentu saja. Pasalnya dia sudah sangat berharap putrinya mau tinggal dengannya. “Tempat Hera di sini,” lanjutnya.

“Ayolah, Hera! Mama nggak baik buat kamu,” bujuk Hardi.

“Lalu yang baik untuk Hera siapa, Pa? Papa?”

Hardi diam, tidak bisa menjawab.

“Kalian berdua itu sama saja.” Hera melanjutkan dengan tenang.

Sementara Salma tersenyum. “Sudahlah, Hardi! Kamu pulang saja ke Singapura. Hera nggak akan mau tinggal bersamamu dan istrimu itu.” Dia puas sekali.

Hera menoleh pada Salma lalu berkata dengan dingin, “Aku di sini bukan karena Mama tapi Kak Tora!” Lalu, dia naik ke lantai dua dan masuk ke kamar.

***

Air mata Hera belum kering.

Dia duduk di atas balkon kamarnya sambil mendekap sebingkai foto masa kecilnya bersama sang kakak. Andaikan Tora masih ada, dia pasti bisa membuatnya kembali bahagia di tengah pertengkaran kedua orangtua mereka. Andai saja malam itu Tuhan tidak merenggut Tora darinya.

Hera bisa apa? Tuhan jauh lebih berhak atas Kak Tora daripada Hera. Mungkin dengan mati, kakaknya akan jauh lebih bahagia. Tora tidak perlu merasakan penderitaan lagi. Dia sudah damai di surga. Hera ingin menyusulnya, tetapi kata-kata Daniel semalam membuatnya terbayang-bayang.

Apakah Tora akan bahagia bertemu dengannya? Bila tidak, siapa lagi yang menginginkannya? Siapa lagi yang akan dia jadikan sandaran jika orang yang paling dia harapkan sudah tak lagi menginginkannya? Hera benar-benar sendiri.

Lihat selengkapnya