Langkah Hera terhenti ketika sampai di atap gedung sekolahnya yang sepi. Kepalanya menengok ke kanan dan ke kiri guna mencari keberadaan Daniel. Hingga pada akhirnya dia melihat pemuda itu tengah duduk di bangku kayu sambil menatap kosong ke bawah, ke arah lapangan sepak bola yang digunakan para siswa untuk bermain bola dan mengobrol di pinggirannya.
Suasana sekolah sangat ramai, mengingat ini adalah hari terakhir mereka berada di sekolah sebelum liburan panjang tiba. Sementara para guru terlihat sibuk dengan pekerjaan mereka, hingga siswa-siswinya bisa menikmati hari-hari terakhirnya tanpa terganggu oleh apa pun.
Hera mendekati Daniel lalu menyentuh pundaknya. “Lo lagi ngapain?” tanyanya membuat Daniel terkejut dan langsung menoleh ke arahnya.
Daniel tersenyum kecil. “Duduk dulu, Ra!” ajaknya menepuk-nepuk sisi lain bangku yang masih kosong.
Hera tidak menjawab. Gadis itu malah berjalan ke pinggiran atap yang diberi batas tembok setinggi satu meter guna menarik napas panjang. Entahlah, udara terasa sangat panas siang ini, membuat Hera ingin menarik napas lebih banyak untuk mengisi paru-parunya. Debu-debu yang berterbangan mengotori seragam dan wajahnya menambah kesan sesak di sana.
Daniel berjalan ke arah Hera. “Ada sesuatu yang ingin gue bicarakan sama lo, Ra.”
Hera menoleh dengan alis berkerut heran. “Tentang apa?” tanyanya.
Sebenarnya Daniel tidak bisa mengatakan ini, akan tetapi dia memang harus mengatakannya sebelum semuanya terlambat.
“Gue harus pergi, Ra!” kata Daniel getir setelah lama terdiam.
Wajah Hera berubah sedih bercampur bingung. “Ke mana?”
Daniel mengangkat kepalanya untuk menjangkau tepat di iris cokelat milik Hera yang tajam dan menyerupai mata elang itu. Sumpah, dadanya benar-benar sesak sekarang. Andai dia bisa, maka Daniel akan lebih memilih untuk tidak menyampaikan hal ini kepada Hera. “Ke Singapura,” jawabnya.
“Ngapain?”
Daniel menarik napas panjang. “Liburan.”
“Begitu doang?”
Daniel mengangguk berat. “Iya,” jawabnya lembut sekali.
“Terus?” tanya Hera lagi.
Pemuda itu tidak langsung menjawab. Lama sekali Daniel menatap wajah Hera, dan itu membuat perasaan Hera makin tidak karuan.
“Mungkin gue nggak balik ke sini lagi.”
“Oh.”
“Nenek gue sudah terlalu tua untuk tinggal sendirian. Jadi, rencananya kami sekeluarga akan tinggal di sana.”
“Terus masalahnya sama gue apa?”
Daniel diam. Dia meraih tangan Hera dan menggenggamnya kuat-kuat. Mendadak matanya memanas, tubuhnya juga bergetar. Dia tidak percaya bahwa meninggalkan Hera akan semenyakitkan ini baginya.
“Lo nggak mencegah gue pergi?” tanya Daniel.
“Buat apa?”
Daniel merasa kecewa. “Kalau begitu, gue punya permintaan buat lo, Ra!”
“Apa?”
“Berjanjilah untuk selalu bahagia dan jangan pernah menyakiti dirimu sendiri.”
Lalu, Daniel memeluk Hera. Membuat gadis itu kaget bukan main. Akan tetapi, di pelukan Daniel kali ini Hera merasakan kepedihan yang menyesakkan. Tidak ada yang tahu kenapa, bahkan Hera sendiri juga tak paham apa sebabnya. Dia menangis, hanya itu yang dia tahu.
***
“HERA! GAWAT!” teriak Alena sambil berjalan menaiki tangga. Dia langsung berhenti ketika melihat pemandangan itu di depan matanya, kemudian tersenyum. “CIE! Lo berdua pacaran, ya?” lanjutnya langsung membuat Hera dan Daniel salah tingkah dan melepaskan pelukan masing-masing.