Malam ini bukan malam biasa, sebab Hera dan puluhan peserta lainnya sudah bersiap-siap untuk bertanding di dalam arena balap. Dia membetulkan posisi jaketnya, kemudian duduk di kursi sebentar sebelum pertandingan resmi dibuka. Jam dinding sudah menunjuk pukul setengah dua belas malam, tiga puluh menit lagi pertandingan akan dilangsungkan dan Hera sama sekali tidak tertarik dengan gelar juara atau pengakuan. Yang dia inginkan malam ini hanyalah bersenang-senang.
Ketika Hera menoleh ke kanan, matanya dikejutkan oleh seseorang. Rangga berdiri beberapa meter dari posisinya saat ini. Lelaki itu tersenyum tapi Hera tidak mengacuhkannya. Hera memilih memalingkan muka ke tembok putih di depannya. Lalu Rangga berjalan mendekat, duduk di sampingnya. Hera kesal setengah mati apalagi di tempat itu hanya ada mereka berdua.
“Apa kabar, Ra?” tanya Rangga tetapi Hera tetap diam. “Ra, bisa kita bicara sebentar?” lanjutnya setelah cukup lama mereka tidak membuka suara.
Hera merogoh sebungkus rokok dari saku celananya dan menghirup lintingan tembakau itu sambil balik bertanya, “Lo mau ngomong apa?”
Sungguh! Sebetulnya Hera malas meladeni Rangga, cuma mau bagaimana lagi? Kalau Hera menghindarinya, Rangga akan terus mengejarnya. Lagi pula Hera tidak bisa terus lari dari masalahnya, bukan? Daniel bilang, dia harus menyelesaikan masalahnya bukan malah lari menghindari.
Mendapat respons dari Hera, pemuda itu terlihat bahagia. “Ini soal kita dan Tora, Ra.”
“Ya sudah, cepat!” Hera masih dingin.
Rangga mengubah posisi duduknya agar lebih enak untuk bercerita. Dia menarik napas panjang kemudian menatap Hera dalam. “Aku tahu kamu marah karena aku sudah pergi begitu saja tanpa pamit dan tidak memberi kabar. Tapi, Ra, kamu harus percaya kalau aku sama sekali tidak pernah bermaksud meninggalkanmu dalam kondisi yang rapuh.”
Hera meremas batang rokoknya yang masih menyala. Emosi di dadanya menyala hebat tetapi dia mencoba tetap bersikap tenang dan tidak menunjukkan reaksi yang berlebihan. “Tapi lo tetap pergi, kan?” Ini bukan pertanyaan melainkan pernyataan.
Rangga terlihat putus asa. “Itu karena aku tidak punya pilihan lain, Ra!” Dia membela diri. “Orangtuaku sudah telanjur malu dengan perbuatanku. Dan lagi-lagi aku tidak bisa menolak kemauan mereka untuk meninggalkan Jakarta.”
Ada senyum meremehkan di wajah gadis itu. “Alasan,” gumam Hera “Kenapa lo nggak berusaha?”
“Kata siapa aku tidak berusaha?” Rangga tidak terima. “Berbulan-bulan aku cari kamu, tapi apa yang aku dapatkan? Rumahmu kosong! Kamu pindah tanpa mengabariku. Aku putus asa, Ra!”
Hera menoleh, wajahnya bertatapan dengan wajah Rangga. “Buat apa gue mengabari orang yang sudah bunuh kakak gue?”
“Kamu salah, Ra! Bukan aku yang bunuh Tora.”
“Terus siapa, Ga?” suara Hera meninggi, “Toh, Kak Tora nggak mungkin meninggal kalau malam itu lo nggak nantangin dia balapan!” Matanya memerah hampir menangis. Setiap kali mengenang kakaknya Hera selalu lemah. Dan nyatanya dia memang tidak sekuat yang terlihat.
“Bukan aku, Ra! Tapi Tora!”
“Bisa-bisanya lo nyalahin kakak gue?!” Hera menggeleng-geleng, “Ini semua salah lo, Ga! Kakak gue itu orang baik, jadi lo nggak usah mengada-ada! Gue nggak akan percaya,” tegasnya.
Entah kenapa Rangga malah tersenyum tapi senyumannya seperti meledek Hera, sama persis dengan senyum yang tadi Hera perlihatkan untuknya. “Tora itu nggak seperti yang kamu pikirkan, Ra!”
Spontan Hera meraih kerah baju Rangga dan siap memukulnya. Dia tak terima! “Lo ngomong apa barusan?!” tantangnya.
Tanpa rasa takut Rangga menjawab, “Asal kamu tahu, kakakmu itu munafik! Dia baik cuma di depan kamu doang! Di luar sana dia itu berengsek! Tora nggak lebih dari sampah!”
BUK!
Tangan Hera mendarat sempurna di bibir Rangga hingganya menyisakan lebam di sana. Terluka dan berdarah saking kerasnya.
“JAGA YA MULUT LO!” bentak Hera mengancam.
Sambil memegangi sudut bibirnya yang perih, Rangga melanjutkan, “Kamu boleh tidak percaya padaku tapi coba kamu tanya ke orang-orang di luar sana, siapa Tora? Aku yakin kamu tidak akan pernah menemukan jawaban yang membuatmu puas.”
Di sepanjang balapan Hera terus memikirkan ucapan Rangga. Kepalanya dipenuhi begitu banyak pertanyaan, meskipun dia sudah berusaha melupakan dan tidak mengindahkan. Seperti ada sesuatu yang memaksanya untuk memercayai apa yang Rangga katakan. Karena kehilangan konsentrasi, Hera baru menyadari kalau motornya oleng. Dia merusaha keras mempertahankan tetapi sayangnya dia terlambat.
Tubuhnya kini terkapar di atas aspal.
***
Salma menatap wajah putrinya dengan perasaan bersalah. Anaknya masih tidak sadarkan diri sejak dibawa ke rumah sakit kemarin. Sementara air mata di wajah wanita paruh baya itu belum juga mengering, masih basah dan terus mengalir.
Perempuan paruh baya itu membelai puncak kepala Hera lembut, bersamaan dengan perasaan nyeri luar biasa yang merayap di dadanya. Salma tidak tega melihat anaknya seperti ini. Tangan Hera dipasangi infus sedangkan untuk bernapas, dia harus dibantu menggunakan masker oksigen. Kalau saja bisa, Salma ingin menggantikan posisi Hera. Sebagai seorang ibu, dia lebih memilih dirinya yang menderita daripada anaknya.
Salma menangis sambil menggenggam tangan Hera lalu berbisik, “Maafkan Mama, Sayang! Maafkan Mama!” katanya berulang-ulang.
“Lagi-lagi kamu gagal!”