Serenity

Nandreans
Chapter #20

Kehilangan

Yang Hera inginkan sekarang hanya lulus ujian dan membahagiakan mamanya, Alena, serta mendapatkan nilai yang baik untuk mennggakhiri masa SMA-nya yang berjalan enam tahun itu. Dia sudah tidak peduli lagi dengan Hardi dan Mega yang terkadang masih berusaha menghubunginya. Namun, lama-lama Hera juga merasa kehilangan, sebab Daniel tidak pernah muncul lagi di sekolah. Tanpa ada yang tahu ke mana dia pergi.

Memang benar Hera enggan berjumpa dengannya, akan tetapi Hera tidak menyangka kalau Daniel benar-benar sampai pindah sekolah segala. Ini terlalu berlebihan. Sesekali, ketika berjalan melewati kelas X-3, Hera masih suka menengok ke dalam lewat jendela kayu berukuran besar yang selalu terbuka itu. Dia melihat ke arah bangku paling depan dekat meja guru. Sekarang meja itu dibiarkan kosong. Penghuni tetapnya entah pergi ke mana.

Sebenarnya dia bisa saja bertanya kepada Alena ke mana Daniel pindah, tetapi Hera terlalu gengsi. Baginya harga diri adalah harga mati.

Ketika hari kelulusan tiba, Hera berlari menuju mading sekolahnya. Dia menyela di antara teman-temannya yang lain untuk melihat daftar siswa yang berhasil menyelesaikan ujian. Dan untuk beberapa waktu dia tidak menemukan namanya di antara nama-nama itu.

Apakah dia tidak lulus lagi? Rasanya mustahil, Hera sudah berjuang keras untuk ini.

Yes!” Angga dan Diki bersorak kegirangan saat mengetahui mereka lulus. “Akhirnya, ya Allah!” ucap mereka bersama-samapenuh syukur.

“Mamak, anakmu lulus!” teriak Damar.

“Her, bagaimana?” Leo menepuk bahu Hera ketika mengetahui ekspresi wajah sahabatnya.

Hera menggeleng, lalu Leo menepuk bahunya pelan.

“Tunggu!” Damar berjalan lagi ke arah mading. “Lo pasti lulus, Her! Gue yakin lo pasti lulus!”

“Sudahlah, Mar!” katan Hera putus asa. “Percuma saja lo cari, nama gue nggak akan ada di sana.”

Ini adalah kesempatan terakhirnya dan Hera gagal untuk kesekian kali. Maka kini dia berakhir tragis, setelah belajar lebih lama tapi tidak mendapatkan apa-apa. Dia akan dikeluarkan dari sekolah tanpa ijazah.

“HERA!” Damar berteriak. “LO LULUS!” lanjutnya sambil menunjuk nama Hera yang tertulis di antara ratusan nama lainnya dengan bahagia.

Hera berjalan untuk melihatnya. Dia diam sebentar untuk memastikan. Tanpa dia sadari, air matanya menetes. Dia masih tidak percaya kalau sekarang resmi lulus dari SMA Pancasila. Mamanya pasti akan sangat bangga, begitupun dengan Alena. Oh iya, omong-omong Alena, di mana gadis itu sekarang?

Setelah berpelukan dan mencorat-coret seragamnya menggunakan spidol warna-warni dengan yang lain, Hera memutuskan mencari sang mentor. Dia harus mengucapkan banyak terima kasih pada Al. Bagaimanapun, semua ini tak akan terjadi bila Alena tidak menjadi guru pembimbingnya. Meskipun menyebalkan, ternyata dia berguna juga.

Langkah kaki Hera terhenti saat melihat Alena duduk di kursi taman sambil memegangi telepon genggamnya.  “Al, gue lulus!” katanya bahagia, tetapi Alena malah menangis. “Lo kenapa, Al?” tanyanya kemudian dengan cemas.

Alena makin terisak-isak.

Hera merengkuh bahu gadis itu dan memeluknya. “Lo nggak lulus?” tanyanya lagi. “Tapi masa sih gue lulus dan lo nggak?”

“Bukan itu, Her!” katanya sambil melepaskan pelukannya.

“Terus?”

“Daniel!”

“Daniel?” Hera mengerutkan alis tak paham.

Alena mengangguk. “Dia meninggal!”

***

Ketika Hera datang ke rumah sakit, dia tak bisa menghentikan tangisannya. Dia tidak mengacuhkan beradaan Hardi yang berusaha menyapanya. Dia langsung masuk ke ruang perawatan Daniel. Di sana dia melihat ranjang, seseorang yang terbaring, serta kain putih polos yang menutupinya.

Hera mendekat lalu menyibak kain itu.  Daniel memejamkan matanya damai seperti orang yang tertidur pulas. Yah, Daniel tertidur untuk selamanya.

Lihat selengkapnya