Bab 1: Pertemuan di Bawah Langit Senja
Matahari mulai turun perlahan di ufuk barat, menyisakan semburat jingga yang menari di permukaan laut. Ombak berkejaran menuju tepi pantai, lalu pecah dalam desiran lembut yang membawa ketenangan bagi siapa pun yang mendengarnya. Angin sore berembus, membawa aroma garam dan pasir yang basah setelah tersapu gelombang.
Di salah satu sudut pantai yang sepi, seorang gadis duduk di atas hamparan pasir, membiarkan ujung gaunnya sedikit terkena air laut yang menyapu pelan. Ia menatap lurus ke cakrawala, membiarkan pikirannya melayang bersama angin. Gadis itu bernama Alea.
Bagi Alea, pantai ini adalah tempat pelariannya—satu-satunya tempat di mana ia bisa merasa bebas tanpa perlu berpura-pura baik-baik saja. Ia telah menjadikan pantai ini sebagai tempat rahasianya sejak kecil, tempat di mana ia bisa berbicara dengan dirinya sendiri tanpa takut dihakimi siapa pun.
Namun, hari ini berbeda.
Pantai yang biasanya sepi itu kini memiliki tamu lain.
Tidak jauh dari tempatnya duduk, seorang pria berdiri memunggunginya, menatap laut dengan tatapan kosong. Ia mengenakan kemeja putih yang lengan panjangnya tergulung hingga siku, serta celana panjang berwarna gelap yang sedikit berpasir. Rambutnya yang hitam tampak berantakan, seolah sudah diterpa angin terlalu lama.
Alea memperhatikannya dalam diam. Pria itu tidak melakukan apa pun, hanya berdiri di sana, seakan sedang menunggu sesuatu—atau mungkin sedang mencari sesuatu yang hilang.
Merasa sedikit terganggu karena pantainya kini tidak sepenuhnya miliknya lagi, Alea menghela napas pelan. Ia berniat untuk mengabaikan pria itu dan kembali menikmati senja, tetapi ketika ia hendak beranjak, pria itu tiba-tiba berbicara.
"Pernahkah kau merasa dunia ini terlalu sunyi?"
Alea terkejut. Suara pria itu dalam dan berat, tetapi ada sesuatu di baliknya—sesuatu yang terdengar… hampa.
Ia menoleh, dan untuk pertama kalinya, tatapan mereka bertemu.
Pria itu memiliki mata gelap yang menyiratkan kelelahan. Ada bayangan di bawah matanya, seolah sudah lama tidak tidur dengan benar. Wajahnya tampan, tetapi bukan jenis ketampanan yang memancarkan kebahagiaan. Sebaliknya, pria itu tampak seperti seseorang yang telah kehilangan arah dalam hidupnya.
Alea tidak tahu harus berkata apa. Ia bukan tipe orang yang suka mengobrol dengan orang asing, apalagi tentang topik berat seperti kesunyian dunia.
Namun, ada sesuatu dari pria itu yang membuatnya enggan berpaling.
"Dunia tidak pernah benar-benar sunyi," akhirnya Alea menjawab setelah beberapa detik kebisuan. "Hanya saja, terkadang kita memilih untuk tidak mendengarnya."