Hanya satu yang kutahu, yaitu bahwa aku tidak tahu apa-apa.
***
Tombol-tombol itu tertata rapi di hadapannya. Setiap angka yang keluar membawanya pada ide yang baru untuk menekan tombol baru. Tangannya begitu lincah memainkan mesin baru itu, sebuah robot besar dengan ruangnya yang bernuansa putih. Ada sebuah pintu masuk ke dalam robot itu. Sepertinya, robot itu akan menjadi percobaan yang menakjubkan. Sudah tiga dunia ia lalui, sekarang dunia apa lagi yang akan ia lalui dengan robot baru?
Aku iseng mengintip dari balik pintu dengan jus jeruk yang baru saja kubuat. Pesawat ini yang kusebut roket memang cukup besar untuk aku bergerak bebas melakukan apa saja. Ada tiga kamar, satu dapur, perpustakaan, dan terakhir ruang percobaan ini. Dengan langkah pelan, aku mendekatinya yang masih sibuk dengan tombol-tombol dan robot baru. Aku berusaha untuk tidak mengeluarkan suara langkah kaki. Sungguh mengasyikkan mengagetkannya dengan kedatangan tiba-tiba. Ekspresinya pasti sangat lucu ketika terkejut.
"Jika kau ingin memberikan jus jeruk itu, taruhlah di atas meja bundar!"
Aku menghentikan langkah dan menggigit bibir. Bagaimana ia bisa tahu aku ada di sini? Aku mendehem. "Kau tidak mau meminumnya?"
"Nanti saja."
Aku mengangguk dan meletakkan jus jeruk ini di atas meja yang berada di sampingku. Aku kembali melangkah. Sepertinya ia tidak bisa diganggu lagi.
Aku memandang sekitar. Ada banyak kertas-kertas berserakan, cairan-cairan warna mengotori lantai, dan terakhir ada banyak cokelat di samping robot itu. Aku tidak menduga ruang percobaan ini akan menjadi seperti kapal pecah. Mengerikan.
"Siapa yang akan membereskan semua ini? Aku harap kau tidak merepotkanku."
Ia menoleh, "Kurasa itu tidak masalah."
Aku berteriak dan hampir jatuh karena tersentak kaget. Wajahnya dipenuhi abu hitam. Mungkin ia lebih menyeramkan dari hantu di tengah hutan. Aku balik tertawa. Entah percobaan apa yang membuatnya berwajah hitam.
"Kenapa kau tertawa?"
"Sepertinya kau harus rajin berkaca."
"Kenapa? Aku tidak punya waktu melakukan hal tidak penting itu. Kau yang seharusnya berkaca. Lihatlah jilbabmu itu!"
Aku mengangkat bahu dan kembali tertawa. Ia pasti berbohong. Aku sudah memakai jilbab dengan benar. Sepertinya yang dikatakan orang memang benar, ia manusia teraneh yang pernah ada.
"Kau mau berpetualang lagi dengan mesin baru? Sepertinya kau harus mengingat-ingat kembali kejadian yang telah berlalu. Itu mengerikan bagiku."
"Tentu saja tidak. Sebanyak apa pun dunia yang kita lewati, hanya satu jawabannya, kita tidak tahu apa-apa. Semakin jauh aku melangkah, semakin banyak yang kutahu, dan aku akan semakin tahu bahwa aku tidak tahu apa-apa," katanya dengan tersenyum.
Sepertinya aku pernah mendengar kata-kata itu. Tapi, aku berusaha mengalihkan pikiran. Aku kembali memandang robot itu. "Jika bukan untuk itu, lalu mengapa kau membuatnya?"
"Untuk pulang. Orang yang berbeda dunia dan tinggal di dunia lain, jantungnya tidak akan bertahan lama, kecuali jika ia telah menjadi manusia bumi seutuhnya dan memiliki tujuan hidup baru. Sebenarnya aku juga ingin membuat dua robot. Kau tahu kan, betapa aku ingin selalu membuat sesuatu yang baru."
Aku teringat bahwa lelaki yang ada di hadapanku ini bukan asli penduduk bumi. Entahlah. Aku merasa tidak suka jika ia pergi.
"Aku juga memiliki teman sepertimu," kataku.
Ia menoleh. "Dunia lain."
"Ya, dia adalah seorang lelaki. Aku mengenalnya sejak kecil di dekat laut biru yang sangat indah. Ia lebih tua dariku dua tahun. Tapi, kebersamaan itu hilang saat aku berulang tahun yang keenam."
"Kau tidak mencarinya kembali?"