Jejak Seribu Dunia

Faridatun Nisa
Chapter #2

Namanya Saif

Aku cinta Tuhanku.

***



Waktu adalah berlian, begitu kata Mama. Tepat waktu dan disiplin sangat penting bagi siapa pun. Tampaknya nasihat itu tidak berlaku hari ini. Beberapa kali panggilan berdering. Seharusnya ini menjadi hari pertama yang menyenangkan. Nyatanya aku harus terlambat.

"Kenapa Mama tidak membangunkanku?"

"Eh, kau sudah besar. Seharusnya kau bisa bangun sendiri."

Papa pasti sudah berangkat ke kantor sejak tadi. Aku sengaja meninggalkan sarapan. Hari pertama, dosen pertama, mata kuliah pertama. Ini tidak sesuai rencana. Entah mau ditaruh di mana mukaku ketika teman-teman baru melihatku terlambat.

Aku langsung berpamitan dan bergegas keluar mengambil mobil. Dalam waktu lima menit, aku harus sudah sampai di kelas. Ini benar-benar gila. Belum sampai membuka pintu mobil, sebuah mobil lain berhenti di depan rumah. 

Ia membuka kaca mobil dan berteriak, "Kau berangkat bersamaku saja, ini sudah terlambat. Aku bisa berkendara lebih cepat darimu!"

Sombong sekali dia. Kurasa tidak ada yang bisa berkendara lebih baik dariku.

"Tidak. Aku sendiri saja."

Aku membuka pintu mobil dan mulai mengendarainya. Aku menambah kecepatan ketika sudah melewati persimpangan jalan. Lelaki itu masih mengikuti di belakang, ia juga menambah kecepatan. Baiklah. Ini sangat seru. Jalanan juga sepertinya masih belum terlalu ramai. Aku meningkatkan kecepatan dan menancap gas. Ia tertinggal di belakang. Aku tertawa lega.

"Bukankah sudah kukatakan? Tidak ada yang berkendara lebih baik dariku di sini," kataku.

Dalam waktu sepuluh menit, aku sampai di gerbang kampus. Aku memarkirnya di dekat gedung rektorat.

"Sial! Aku terlambat. Seharusnya aku sampai lima menit yang lalu." Aku mendengus kesal.

Aku berlari menuju kelas, mengintip dari balik jendela. Ternyata dosen belum datang. Aku menghela napas lega. Pandanganku memutari ruangan itu, berusaha mencari Haida.

Seseorang berjalan melewatiku ketika aku masih berdiri menatap jendela. Aku menoleh. Pakaiannya terlihat kurang rapi. Rambutnya seperti sarang burung hantu. Menyeramkan. Tidak ada aroma istimewa. 

"Kau! Apa kau juga di kelas ini?" 

Lelaki aneh itu tidak menoleh dan terus berjalan.

"Apa kau tidak mendengarku?"

Ia membalikkan tubuhnya, memandangku. "Ya," katanya. Ia kembali berjalan memasuki kelas. Sedangkan aku termenung di tempat.

"Hafidza!"

Aku menoleh ke belakang. Itu lelaki yang tadi mengajakku bersama. 

Lihat selengkapnya