Bukan tentang bagaimana kita mengalahkan, melainkan bagaimana kita berdamai dengan mereka.
***
Tempat ini masih lumayan sepi, tidak seperti yang kuduga. Aku berjalan di antara rak-rak yang berderet rapi dan berhenti untuk memandang sebuah buku bersampul hitam. Aku mengernyitkan dahi, "Tentang si Genius dalam perang melawan teroris?"
"Kau?"
Aku menoleh. Ternyata Haida. Ia menyenggol lenganku. "Dia benar-benar berubah selama tiga hari ini. Kau juga sepertinya mulai dekat dengannya."
"Siapa?"
"Ah, kau pura-pura menjadi pelupa atau sengaja menjadi pelupa? Tentu saja lelaki aneh itu." Ia mengambil sebuah buku yang sepertinya tidak akan ia baca.
Aku masih sibuk melihat-lihat buku yang dirasa menarik.
Haida mendehem. Ia memandangku yang tidak peduli. "Lelaki itu benar-benar berubah seratus delapan puluh derajat! Ah, ia terlihat lebih keren dari Yusuf meski masih agak pendiam. Ya, mungkin itu ciri khasnya. Pendiam sekali, namun sekali berdiskusi dengannya di kelas, semua orang yang giliran terdiam. Ah, cerdas sekali. Ia juga penghafal Qur'an."
Aku berjalan ke rak lain. "Kau mau terus membual atau mencari buku?"
"Huh, menyebalkan! Aku sedang bercerita padamu."
"Lain kali saja, aku sibuk."
Ia mulai jengkel. "Ah, tidak ada salahnya bercerita, kan? Bukankah kita teman?" Ia mengikutiku. "Entah mengapa, awalnya aku merasa salah jurusan. Perintah orang tua memang tidak bisa kutolak. Bayangkan, tafsir Qur'an? Itu bukan hobiku sejak dulu. Tapi, melihat lelaki aneh itu yang berubah menjadi super keren, aku merasa betah." Ia masih saja bercerita panjang lebar. Orang sepertinya sulit untuk berhenti bicara.
Aku mengambil tiga buku tafsir dan sebuah novel, kemudian berjalan cepat menuju peminjaman. Kali ini, aku berusaha menghindari Haida.
"Hafidza, kau jalan cepat sekali. Tunggu aku!"
Dari peminjaman, aku langsung keluar menuju masjid. Haida masih berada di perpustakaan. Ia belum menemukan satu buku pun karena hobi berceritanya yang tidak habis.
Kulihat masjid juga masih lumayan sepi. Ini waktu Dhuha. Sudah lama aku tidak menunaikan shalat Dhuha karena sibuk oleh tugas kuliah. Aku mengambil wudlu, lantas berjalan ke dalam masjid. Aku mengintip dari balik celah yang memisahkan tempat pria dan wanita. Saif? Ya, itu Saif! Ia juga sedang shalat. Aku tersenyum, lantas cepat menyelesaikan empat rakaat Dhuha.
Aku berjalan cepat ke depan pintu masjid. Saif masih berada di dalam. Sembari menunggu, aku mulai membaca buku yang baru saja kupinjam. Buku tafsir pemula. Ternyata menjadi seorang penafsir cukup sulit bagiku. Ada banyak ilmu yang harus aku kuasai. Aku membaca beberapa menit, seseorang berdiri di hadapanku.
"Kau?"
Aku menengadah. Ternyata Saif. Aku tersenyum dan beranjak dari tempat duduk.
"Aku menunggumu. Kau terlihat berbeda dengan penampilanmu. Banyak yang terkesan. Hanya saja, kau agak pendiam kata mereka," kataku.
Ia tertawa. "Ini karenamu. Kau yang memaksaku berubah. Kau membelikan banyak baju dan peralatan berdandan untukku. Ah, untuk ukuran lelaki tepatnya bukan berdandan. Mengenai pendiam, aku memang demikian, kecuali dengan orang-orang tertentu."
Aku ikut tertawa.
"Duduklah!" Ia beranjak duduk. Aku mengikutinya. Tangannya mengambil sebuah buku dari dalam tasnya.
"Filsafat?"
Ia mengangguk. "Belakangan ini aku menyukai filsafat."
"Begitukah? Aku pernah mendengar seorang filosof bernama Plato. Kau bisa menceritakan sedikit tentangnya?"
Ia tersenyum dan mengangguk. "Tentu saja. Plato adalah filosof yang lahir pada tahun 428 sebelum Masehi. Ia adalah salah satu murid dari Socrates. Dan yang paling penting adalah pemikirannya. Kau pernah mendengar aliran Idealisme?"
Aku mencoba mengingat-ingat, kemudian mengangguk.
Ia melanjutkan. "Filosof seperti Heraclitus menganggap bahwa semua yang ada di dunia ini berubah, sedangkan Parmenides menganggap bahwa semua yang ada di dunia ini tetap. Bagaimana dengan Plato? Plato mengatakan bahwa ada dua dunia, yang berubah dan tetap. Dunia yang akan hancur dan berubah-ubah adalah dunia nyata atau dunia bayangan, sedangkan dunia Ide selalu tetap dan kekal. Itulah sebabnya ia disebut aliran Idealisme Plato."
"Mungkin bahasa kita adalah dunia nyata dan dunia ghaib?"
"Bisa jadi. Akan tetapi, Plato menganggap dunia nyata hanyalah bayangan dari dunia Ide. Bentuknya adalah hasil cetakan dari dunia ide. Plato memisahkan jauh antara keduanya."
Aku mengangguk. "Bisa kau contohkan?"