Fokuslah pada satu tujuan, cukup satu titik saja, Kawan.
***
Kali ini, Pak Mahmud benar-benar membuat kami berpikir lebih kencang dan berhati-hati dalam berpendapat. Ini adalah ayat al-Qur'an, tidak boleh ada yang bermain-main dengan firman Tuhan. Aku berkali-kali membuka buku tafsir, lantas membuka ponsel dan membaca berbagai pendapat di internet. Haida terlihat tidak nyaman dengan tempat duduknya. "Kau terlalu serius dengan mata kuliah Ulumul Qur'an ini. Ah, sudahlah. Daripada kau pusing memikirkannya, lebih baik diam saja," katanya. Aku tidak menanggapi. Aku terus membaca dari berbagai sumber.
"Pak, izinkan saya berpendapat." Yusuf mengangkat tangannya. Pak Mahmud mengangguk.
"Sebelum itu, saya meminta video tadi diputar ulang."
Pak Mahmud menyambungkan kembali laptopnya dengan layar. Semua yang ada di kelas terdiam mendengar kembali video penjelasan seorang ustadz yang entah bernama siapa. Dalam video itu terlihat seorang ustadz dengan jenggot lebat, berpeci putih, dan kemeja putih. Ia mulai berceramah.
"Asal menikah adalah poligami. Lihat saja, ini dalil yang tidak bisa dibantah. An-Nisa ayat 3. Fankihuu maa thaaba lakum minan nisaaai matsnaa wa tsulaatsa wa rubaa', kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tidak ada wahid atau satu. Selanjutnya, al-Qur'an menyatakan fain khiftum an laa ta'diluu fawaahidah, jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja. Artinya, lelaki yang menikahi satu wanita adalah lelaki yang takut, pernikahan karena takut."
Video itu berhenti.
"Silahkan. Apa pendapatmu?"
Yusuf mengangguk dan berdiri. "Bagi saya, itu tafsiran yang keliru. Seharusnya, kita tidak bermain-main dalam masalah tafsir. Sudah banyak buku-buku tafsir yang ditulis oleh para ulama terdahulu. Kita tidak boleh mengabaikannya. Banyak ulama mengatakan bahwa yang dimaksud ayat itu adalah boleh menikahi lebih dari satu wanita. Akan tetapi, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi, salah satunya adalah adil. Sayangnya, banyak lelaki yang tidak bisa adil apalagi merasa mampu mencukupi kebutuhan istrinya lahir dan batin."
Yusuf berhenti bicara. Ia duduk dengan senyum bangga. Tiba-tiba, Saif berdiri. "Tidak," katanya. Semua orang menoleh.
"Kau mau berpendapat?" Pak Mahmud menanggapi.
"Ini bukan tentang pendapat, melainkan tentang fokus kita. Fokuslah pada satu titik. Aku melihat satu titik di sini, tiada lain adalah wanita. Apakah setiap wanita akan menyukai ketika suaminya berhubungan dengan wanita lain?" Ia berhenti sejenak mengambil napas.
"Kita boleh berpegang pada satu tafsir, tapi jangan lupakan bahwa kita mahasiswa. Kita dituntut untuk berpikir kritis. Kita mengamati dengan data dan kemampuan yang kita miliki. Juga jangan lupa, tafsir bersifat subjektif sehingga setiap tafsir pasti ada bedanya." Ia berjalan ke arah papan tulis dengan membawa penggaris dan menempelkan sebuah kertas besar. Di situ tertulis Qur'an surat an-Nisa ayat 3. Aku memperbaiki posisi dudukku untuk mendengarnya lebih enak.
"Yang paling penting adalah jangan menyampaikan ayat hanya sepotong. Sampaikan keseluruhan, maka akan lebih jelas. Dalam ayat ini ada dua khiftum." Ia menujuk ayat itu dengan penggaris.
"Khiftum yang pertama adalah takut tidak bisa berbuat adil jika menikahi wanita-wanita yatim, wain khiftum an laa tuqsithu fil yataamaa, maka nikahilah dua, tiga, atau empat wanita. Sedangkan khiftum kedua adalah takut tidak bisa berbuat adil jika menikahi lebih dari satu wanita, maka nikahilah satu saja. Dalam video tadi disampaikan bahwa asal menikah adalah poligami. Jika menikahi satu wanita saja, maka disebut pernikahan atas dasar rasa takut. Sang Ustadz melupakan khiftum pertama, yaitu takut tidak bisa berbuat adil jika menikahi wanita-wanita yatim. Dengan demikian, apakah kita bisa langsung menyimpulkan bahwa asal menikah adalah menikahi wanita-wanita yatim dan orang yang menikahi dua, tiga, atau empat wanita adalah juga pernikahan yang didasari rasa takut?"
Semua terdiam. Saif melihat sekeliling. Ruangan itu hening sesaat.
"Baiklah. Ketika ditelusuri asbabun nuzul-nya, ternyata ayat ini berkaitan dengan seorang laki-laki yang menjadi wali dari anak-anak yatim. Di antaranya adalah wanita-wanita yatim yang memiliki banyak harta dan lelaki tersebut berniat menikahinya, namun tidak bisa berbuat adil. Maka, turunlah ayat yang mengatakan agar ia menikahi wanita lain, dua, tiga, sampai empat wanita. Ternyata tidak berhenti sampai di sini saja. Lanjutannya, kawinilah seorang saja."
Aku mengangkat tangan. "Apa kau hendak mengatakan bahwa ayat ini bukan berbicara poligami, melainkan perbuatan adil yang lebih baik?"
"Bisa jadi. Akan tetapi, aku punya arah lain untuk menjelaskannya." Ia berjalan kembali ke tempat duduknya. Bukan untuk duduk, melainkan mengambil dua kertas besar lainnya. Ia melepas kertas yang bertuliskan ayat al-Qur'an dari papan tulis, lantas menempelkan dua kertas itu ke papan tulis secara sejajar.