Jejak Seribu Dunia

Faridatun Nisa
Chapter #5

Menuju Gravitasi Nol

Kita semua setara, tidak ada yang di atas atau di bawah.

***



Aku bingung mau memulai dari mana. Apa yang harus kubawa? Berapa setel pakaian? Makanan untuk keseharian? Buku-buku? Aku tak menyangka, kebutuhanku sehari-hari sangatlah banyak. Aku memandang boneka beruang besar yang dihadiahkan Papa di hari ulang tahunku tahun lalu. Haruskah aku membawanya untuk kupeluk setiap malam?

Jendela kamar diketuk. Aku menggigit bibir. Itu pasti Saif. Ini tidak sesuai rencana. Bukankah ia mengatakan mau datang sekitar jam tujuh pagi?

Aku membuka jendela. Sebuah pesawat kecil masuk melalui jendela. Pintunya terbuka.

"Saif? Ini baru jam setengah tujuh." Aku memandangnya kesal.

"Bagiku itu tidak masalah. Bukankah datang di awal waktu lebih baik daripada terlambat?" Ia mengangkat bahu. Bersikap seperti tidak peduli.

Aku mendengus kesal. "Lalu, bagaimana aku berbicara pada Mama dan Papa? Apa aku harus menghilang begitu saja tanpa pamit?"

Ia berjalan dan duduk di kasur dengan tenang. "Siapa bilang menghilang? Kau akan tetap di sini dan melakukan aktifitas keseharianmu."

Aku menerka-nerka. "Tidak jadi pergi?"

Ia berdiri dan mengeluarkan sebuah tablet. Di sana ada dua tombol, merah dan hijau. Ia menekan tombol hijau. Sebuah bayangan keluar darinya. Bayangan itu berubah menjadi seperti manusia pada umumnya dalam waktu lima detik. Aku terhenyak. Itu aku?

"Halo. Aku Hafidza." Ia mengulurkan tangannya. Aku masih ragu. Kupandang dari atas sampai bawah. Benar-benar mirip.

"Tenanglah. Ia hanya robot buatan yang kubuat seperti manusia sungguhan." Saif tertawa.

Aku tidak mengerti. Robot? Tubuhnya tidak seperti robot, bukan? Aku ragu menyalaminya, namun kupaksakan. Tangannya tidak menunjukkan bahwa ia adalah robot. Ia melepas tangannya dan tersenyum.

"Kau mau di sini saja atau ikut denganku?" 

Aku menoleh pada Saif. "Aku belum bersiap-siap."

"Kau tidak perlu bersiap-siap. Semua keperluanmu sudah ada di dalam." Saif menarik tanganku. Ia membuka pintu pesawat lagi. Ia mengajakku memasuki ruangan paling ujung.

"Bukalah pintu itu."

Aku menurut dan mulai membukanya. Aku terkejut. Kamarku ada di sini? 

"Persis seperti kamarmu yang asli, bukan?"

Aku mengamati kembali. Kasur, boneka beruang besar, tempat belajar, lemari. Semuanya sama. "Ini menakjubkan, Saif!"

"Baiklah. Kita berangkat sekarang?"

"Aku akan merindukan Mama dan Papa." Aku menunduk. Wajahku tertekuk seperti kertas lipat.

"Kau sangat manja dengan orang tua angkatmu. Pegang ini." Saif memberikan sebuah tablet lain berbentuk bulat. Di situ juga ada dua tombol.

Sedangkan aku terkejut. “Bagaimana kau tahu mereka bukan orang tua kandungku?”

Ia tertawa. “Tentu saja aku bisa tahu dengan mudah. Aku bisa membuat teknologi yang melihat masa lalumu. Kedua orang tuamu sudah meninggal. Dan orang tua angkatmu itu tidak mempunyai anak sehingga mereka mengadopsimu di sebuah panti asuhan, bukan?”

Aku mengangguk. “Aku menyayangi mereka.” Aku kembali menunduk.

"Tekanlah tombol hijau." Ia memerintah.

Aku menurut. Sebuah layar muncul di depanku. Mama? Aku terlihat masih tidur dalam layar itu. 

"Hafidza! Kebiasaan yang buruk. Kau tidak boleh tidur lagi setelah shubuh! Ini sudah jam tujuh pagi!"

Orang yang mirip denganku itu bangun dengan wajah terkejut. Gayanya sama sepertiku. "Mama! Apa ini sudah siang? Aku ada kelas pagi!" Suasana ribut setiap pagi selalu terulang. Aku tertawa melihatnya. Sungguh lucu.

"Jika kau rindu, kau bisa menekan tombol hijau untuk melihat apa yang sedang terjadi di rumah, kampus, dan setiap tempat yang biasa kau lalui. Semua akan berjalan seperti biasa." 

Aku menekan tombol merah. Layar itu hilang. Aku menoleh pada Saif. "Tapi, bukankah kita masih di kamar? Apa Mama tidak melihat roket ini?"

Lihat selengkapnya