Jejak Seribu Dunia

Faridatun Nisa
Chapter #6

Cerita Pak Mahmud

Hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenang.

***



Mataku terbuka pelan. Entah apa yang baru saja terjadi. Kepalaku masih sedikit pusing. Aku mencoba sadar sepenuhnya dan menggerakkan tubuh. Ternyata tidak bisa. Tubuhku terikat di sebuah tiang. Aku menunduk ke bawah. Apa ini? Entah danau atau apa. Isinya adalah air mendidih berwarna kuning. Tubuhku gemetar. Aku mengalihkan pandangan ke samping. Saif? Ia juga terikat sepertiku. Ia masih pingsan.

Di seberang kami ada tiga orang aneh yang sedang mondar mandir, menatap dari jauh. Mereka berpakaian serba merah. Apa mereka iblis yang menyerupai manusia? Aku tidak tahu pasti.

"Saif!" Aku kembali menoleh pada Saif. Ia belum juga bangun. Aku mencoba bergerak lagi. Tidak bisa. Tali ini begitu kencangnya mengikatku. 

"Kau!" 

Aku menoleh. "Saif? Kau sudah bangun?" 

Ia mengangguk. "Kau jangan banyak bergerak. Jangan sampai kau terjatuh!"

"Kita ada di mana? Bagaimana ini?"

Ia tidak menjawab. Matanya masih belum sepenuhnya terbuka. Aku memahami, ia baru saja sadar. 

Aku mencoba berpikir lagi. Apa yang mereka mau? Mengapa ada mahluk yang menjengkelkan seperti mereka? Aku mendengus kesal.

Salah seorang dari mereka mendekat. Ternyata mereka bisa terbang tanpa sayap atau bantuan apa pun. Orang itu berbicara sesuatu. Aku hanya terdiam tidak mengerti. Saif juga terdiam. Yang kudengar hanya "Yuyiya, yuyiya, yuyiya." Aku berusaha menahan tawa ketika mendengarnya.

Orang aneh itu menepuk dahi. Ia terlihat kesal dan menghampiriku. Apa yang mau dilakukannya? Tangannya ditempelkan ke dahiku. Ia beralih ke Saif dan melakukan hal yang sama. 

Ia kembali ke tempat semula. "Siapa kalian? Mengapa kalian melewati wilayah kami?"

Aku terkejut. Ia bisa bahasa bumi atau aku yang bisa memahami bahasanya?

"Aku berasal dari dunia lain. Ia adalah temanku. Kami hanya ingin menuju suatu tempat dan tidak sengaja lewat sini." Saif yang menjawabnya.

Aku mengangguk. "Mengapa kau malah menangkap kami? Apa salah kami?" Aku ikut bicara.

Orang aneh itu tertawa. "Kalian pasti dari bumi. Dasar manusia bodoh! Sejak dulu orang-orang bumi berusaha menaklukan luar angkasa. Nyatanya sampai sekarang mereka hanya bisa pergi sampai ke planet terdekat. Kalian?!" Ia menunjukku dan Saif bergantian. "Entah bagaimana kalian bisa sampai sini. Mungkin kalian mengikuti jejak manusia aneh yang dulu merusak tempat ini." Ia balik tertawa. "Tapi, hidup kalian tidak akan lama lagi. Aku adalah penjaga kawasan ini! Tidak boleh ada yang melewatinya kecuali tanpa izin dari ketua kami."

Teman-temannya berdatangan. Mereka mendekat. Ternyata jumlah mereka banyak. Kurang lebih lima puluh orang aneh. Mereka memasang wajah jahat. Menyeramkan. Mungkinkah malaikat Malik lebih seram dari mereka ketika menyambut para pendosa di pintu neraka? Tubuhku begidik.

Salah seorang dari mereka maju. Pakaiannya sedikit berbeda. Ia memakai mahkota merah. Mungkin itulah ketuanya. 

Aku memandang Saif. Ia tidak terlihat takut sama sekali. Justru sebaliknya, terlihat tenang.

Sang Ketua menunjukku dan Saif berkali-kali. Mungkin sedang melakukan perhitungan. Ia merapalkan semacam mantra.

"Siapkan bara apinya lebih besar! Dia yang menjadi korban lebih dulu." Sang ketua menunjukku. 

Aku terhenyak. Korban? Apa mereka benar-benar akan membunuhku?

"Apa yang kalian lakukan?! Apa kalian adalah iblis terlaknat?! Kalian mau membunuh kami yang tidak bersalah?!" Saif tiba-tiba berteriak.

Sang Ketua tertawa. "Apa kau bilang? Tidak bersalah? Sejak tiga puluh tahun yang lalu banyak manusia aneh yang melewati tempat ini. Mereka bahkan merusak tempat kami."

"Kau yang aneh! Itu bukan salah kami. Mengapa kami harus menanggungnya?"

"Karena kau juga manusia yang datang dari dunia lain! Aku benci manusia sepertimu."

Saif terdiam. Ia terlihat memikirkan sesuatu. "Baiklah. Kalau begitu bunuh aku terlebih dahulu."

Aku terhenyak. "Saif? Apa yang kau katakan?" 

Ia tidak menjawabku. Aku mendengus kesal. Bagaimana akhirnya bisa seperti ini?

Sang Ketua tertawa. "Tidak akan! Lebih baik aku membunuh temanmu dulu. Kau juga akan mendapat giliran nanti."

Aku menggigit bibir bawah, teringat pada Mama dan Papa, kuliah, Haida, juga perpustakaan. Ah, semua itu.

Seseorang dari mereka mendekat padaku dengan membawa senjata yang mirip seperti golok. Orang aneh itu melayang di belakangku, bersiap memotong tali yang mengikatku. Setelah itu, aku akan jatuh. Aku memandang Saif untuk terakhir kalinya. Ia masih terlihat berpikir. Aku bergumam pelan, "Kau adalah orang genius yang pernah kukenal, Saif. Kau berbeda dari yang lain. Itulah sebabnya aku mau ikut berpetualang denganmu. Ini sungguh seru. Aku ingin mengenalmu lebih jauh. Aku tahu kau juga orang yang baik. Ternyata kita akan berakhir di sini."

Aku menutup mata dan mengucap dua kalimat syahadat dengan lirih. "Asyhadu an laa ilaaha illa Allah. Wa asyhadu anna muhammadan Rasuulullah."

Golok itu sudah menempel di tali yang mengikat tubuhku. Aku bisa merasakan setiap gesekannya. Beberapa detik lagi.

"Aaa!" 

Mataku langsung terbuka mendengar teriakan itu. "Saif?" Aku menoleh. Ia terlihat bergelantungan di tiang. Apa yang ia lakukan? Memutus talinya sendiri? 

Aku berteriak. "Saif! Apa yang kau lakukan?!"

Saif tidak menjawab. Ia melepas tangan kirinya dan membiarkan tangan kanannya memegang tiang. Tangan kirinya merogoh sesuatu ke dalam saku jaketnya.

Orang aneh di belakangku tidak peduli. Ia terus berusaha memutus talinya. Dan ya, tali yang mengikatku putus.

Lihat selengkapnya