Kesederhanaan adalah salah satu ciri kebahagiaan.
***
Pintu diketuk. Aku tidak langsung menyahut. Mataku masih berat. Aku mencoba bangun sepenuhnya. Ayolah, aku pemalas sekali.
"Buka saja pintunya, tidak dikunci," kataku dengan pelan.
Pintu dibuka.
"Kau mau tidur terus? Kita sudah sampai. Aku juga sudah mengabari Pak Mahmud lewat pesan."
Aku terperanjat. Sudah sampai? Seketika mataku terbuka lebar.
"Apa yang harus kupersiapkan?"
"Kau hanya perlu memakai baju ini. Kita tidak tahu seperti apa bahasa dan kebiasaan mereka. Baju ini akan menyesuaikan dengan keadaan sekitar. Kau juga tidak perlu mandi lagi setelah memakai baju ini karena tubuhmu akan segar kembali." Saif melempar sebuah gamis berwarna abu-abu dengan jilbabnya yang indah.
Aku berteriak, "Ajaib!"
"Kau berlebihan."
Aku memandang Saif dari atas sampai bawah. Ia memakai baju muslim. Penampilannya berbeda dari biasanya. Ia terlihat lebih islami dengan sarung dan peci berwarna abu-abu. Eh, peci abu-abu? Ini baru pertama kali aku melihat peci seindah itu. Aku mulai menerka-nerka. "Saif, kita seperti mau berangkat ke pengajian." Aku menahan tawa.
"Kau ini. Tadi sudah kukatakan. Baju ini akan menyesuaikan dengan keadaan sekitar. Kita masih di dalam roket, jadi belum ada reaksinya. Lihat saja nanti kalau sudah keluar!"
"Baiklah. Aku ganti dulu. Kau keluar," kataku dengan nada mengusir.
Saif ber-hem, lantas keluar dengan cepat dan menutup pintu.
Aku mengalihkan pandangan ke jendela. Mungkin aku bisa melihat dunia Saif dari jendela. Aku menyibak gorden. Tidak ada apa pun. Hanya ada pemandangan seperti awan.
"Apa ini? Aneh sekali." Aku menutup gorden dan mulai mengganti baju.
Saif telah menunggu di dekat jendela bundar yang ada di samping pintu keluar.
"Aku sudah siap."
Saif menoleh dan mengangguk. Ia termenung sejenak. "Baiklah. Mari kita keluar!" Saif membuka pintu dan keluar lebih dulu.
Aku mengikutinya. Pintu roket tertutup sendiri setelah aku keluar. Aku menoleh ke belakang. Mataku terbelalak. Roketnya hilang! Aku berteriak, "Saif! Roketnya hilang!"
Seketika Saif menutup mulutku dengan tangan kanannya. Aku melepas tangannya. "Kau kenapa? Roketnya hilang!"
"Roketnya tidak hilang. Kau tenang saja. Kita berada di dunia lain. Kau seharusnya tidak berteriak!" Kata Saif setengah berbisik.
Aku memandang sekitar. Tidak seperti yang kulihat tadi di kamar. Ada banyak orang berlalu lalang dengan pakaian aneh. Yang perempuan menggunakan semacam jilbab dengan segitiga menjulur ke samping kiri kepalanya. Motifnya bintik-bintik. Terlihat indah, tapi aneh. Aku tidak pernah melihatnya di bumi. Bajunya begitu mewah hingga menjulur panjang sampai ke tanah. Eh, tanah warna putih? Aku memaklumi. Ini bukan bumi.
Aku mengamati yang lain. Kaum lelaki menggunakan penutup kepala yang mirip dengan mahkota raja di bumi. Sungguh indah. Warnanya putih keemasan. Sedangkan bajunya seperti gamis dan menjulur sampai ke bawah. Warnanya biru tua. Juga ada motif bintik-bintik. Benar-benar tidak menyatu bagiku. Terlihat aneh. Selera mereka mungkin berbeda jauh.
Aku balik memandang penampilanku. Aku terperanjat. Baju yang tadi kupakai berubah menjadi seperti baju mereka. Sangat mirip. Saif benar, baju ini akan menyesuaikan keadaan di sekitar. Aku memandang Saif yang sedang mengamati sekitar. Bajunya juga berubah. Tapi, entah mengapa aku merasa ia cocok dengan baju seperti itu. Mungkin karena dunia ini memang asalnya.
Saif menarik tanganku dan berjalan ke arah kanan. Aku mengikuti.
"Ini kehidupan yang aneh. Benar-benar baru," katanya.
"Kukira kau langsung bisa terbiasa dengan dunia asalmu." Aku menahan tawa.
Saif menoleh. "Entahlah. Mungkin karena aku sudah terlalu lama di bumi."
Seseorang menepuk pundah Saif. Aku dan Saif menoleh. Ia adalah seorang lelaki yang kurang lebih tiga puluh tahunan. "Maaf, kalian menghalangi jalan."
Aku terkejut. Orang ini bisa bahasa bumi atau aku yang memahami bahasa mereka? Entahlah. Mungkin ini pengaruh dari pakaian yang diberikan Saif.
"Oh maaf, kami tidak tahu." Saif menarikku ke pinggir.
Jalan di sini tidak begitu terlihat jelas. Tanahnya putih dan jalannya putih semu cokelat. Tidak terlalu menonjol juga.
"Kalian berasal dari kota mana? Sepertinya aku baru melihat kalian di sini."
Aku dan Saif berpandangan, tidak tahu harus menjawab apa. Jangankan kota, tempat ini saja tidak tahu bernama apa.
"Ah, baiklah. Sepertinya kalian tersesat. Kalian tidak memiliki kerabat di sini?"
Aku dan Saif sama-sama menggeleng.
"Kasihan sekali. Apa kalian lapar? Ah, jika kalian tahu, aku adalah koki terhebat di kota ini. Aku memiliki rumah makan yang terbesar dan paling terkenal."
"Ya, mungkin kami bisa mencicipi sedikit masakanmu?"
Aku menyenggol tangan Saif.