Dendam bukan hal yang terbaik, melainkan tetap menerima karena dunia tak selamanya bersama kita.
***
Saif sedang memainkan tabletnya. Ia sudah bangun sedari tadi. Mungkin ia sedang memiliki rencana baru atau hanya bermain saja.
"Kita kuliah hari ini."
Aku terhenyak. Kuliah? "Kita kuliah di dunia lain?" Aku belum mengerti.
Saif tidak menjawab. Ia mengarahkan layar tabletnya ke depan. Sebuah bayangan tampak dan berubah menjadi layar yang besar. Itu ruang kuliah! Aku melihat Haida dan orang yang mirip denganku duduk di tempat biasa.
"Kita cukup mendengarkan dari sini. Jika kau mau berpendapat atau bertanya, maka kau bisa langsung mengatakannya dalam hati dan yang akan berbicara adalah robotnya.
"Ini hebat, Saif!"
"Kau berlebihan."
Aku menahan tawa. Ia selalu mengatakan itu jika aku memuji.
Hari ini bukan mata kuliah Pak Mahmud, melainkan mata kuliah Bu Munji, yaitu mata kuliah Akhlaq dan Tasawuf.
Bu Munji terlihat memasuki ruangan dengan pakaian khasnya, batik berwarna ungu. Bu Munji memang menyukai warna ungu.
"Baiklah. Hari ini presentasi kelompok tiga tentang tasawuf Jalaluddin Rumi. Apa kalian sudah siap?"
Mereka semua menjawab "siap". Lima orang maju, termasuk aku dan Saif. Eh, aku satu kelompok dengan Saif?
"Bagaimana aku bisa satu kelompok denganmu?"
Saif menoleh. "Mana kutahu."
Presentasi dimulai dengan mengucap salam, kemudian membaca makalah bergantian.
"Membosankan. Bagaimana presentasi anak kuliah bisa membosankan seperti ini? Hanya membaca makalah, kemudian tanya jawab. Itu bukan watak mahasiswa. Ah, apalagi ini baru semester satu. Mata kuliahnya masih umum. Tidak seru. Aku ingin cepat masuk mata kuliah khusus Ilmu al-Qur'an dan Tafsir."
Aku menoleh pada Saif yang terus menggerutu. "Kau ini. Seharusnya kau bersyukur pada Tuhan. Kau orang beruntung yang masih bisa sekolah. Banyak orang di luar sana yang putus sekolah. Setelah menginjak kuliah kau malah mengeluh. Aneh sekali."
Saif beristighfar. "Aku bukan mengeluh. Aku hanya bosan saja melihat presentasi seperti ini. Sepertinya aku harus memanaskan suasana kelas."
Robot yang mirip Saif berdiri seketika setelah dibuka sesi tanya-jawab. Anak ini akan membuat ulah, pikirku.
"Sepertinya tidak ada yang mau bertanya." Ia tersenyum. "Baiklah. Bagaimana kalau aku yang bertanya saja?" Ia berhenti sejenak.
Robot itu menyiapkan dua kertas besar dan menulis sesuatu di atasnya, kemudian menempelkannya di papan tulis.
Ia melanjutkan, "Gambar pertama adalah gambar para ulama fiqih yang sangat memerhatikan halal, haram, sah atau tidak, dan lain sebagainya. Mereka ketat dengan aturan fiqihnya. Sedangkan gambar kedua adalah gambar para ulama hakikat seperti Jalaluddin Rumi dan kawan-kawan. Ajaran mereka adalah tingkatan tinggi, yaitu mahabbah. Namun, seperti yang kita tahu. Mereka hanya mementingkan rohani dan seperti melupakan jasmani. Tidak seperti ulama fiqih. Sedangkan gambar ketiga adalah kosong. Maka, apa yang harus diisi di gambar ketiga?"
Pintu diketuk. Layar itu hilang seketika. Saif memasukkan tabletnya ke dalam saku. Tablet itu menyesuaikan ukuran saku, hingga mudah dimasukkan.
Saif berdiri dan membukakan pintu berbentuk bulat itu. Ternyata Cake yang mengetuknya.
"Sepertinya kalian sudah cukup beristirahat. Mau ikut makan bersama kami?"
Saif mengangguk. "Kami bersiap-siap dulu."
Cake tersenyum dan beranjak pergi.
Aku mendengus kesal. "Baru saja kuliah dimulai kita sudah diganggu."
Saif tertawa. "Sekarang kau yang mengeluh. Manusia memang terlalu banyak mengeluh. Ayo cepat, kita sudah ditunggu."
Aku mengangguk dan mengikutinya menuju tempat makan.
Aku menyenggol tangan Saif dan berbisik, "Gambar yang ketiga itu apa?"
Saif tertawa ringan sambil berjalan. "Kau pasti tahu jawabannya."
Aku menerka-nerka. Fiqih dan hakikat? "Ah ya, penggabungan antara fiqih dan tasawuf?"
Saif mengangguk. "Pintar sekali kau." Ia tertawa lagi.
Tempat makan di rumah ini juga tidak terlalu besar dan dekat dari dapur. Ada banyak hidangan di meja. Bentuknya ada yang seperti pasta dan lebih banyak yang bulat. Ya, bulat lagi.