Kau hanya butuh satu, yaitu percaya pada Tuhan.
***
Aku mengambil tablet di dalam kamar yang pernah diberikan Saif dan membawanya ke ruang percobaan. Aku ingin melihatnya di sana. Kakek Dane dan Syin mengikutiku.
Aku menekan tombol hijau. Layar besar muncul di depan. Tablet ini memang menyesuaikan apa yang dipikirkan olehku. Di situ terlihat Saif, Cake, dan para penjaga setia yang masih mencoba melawan mereka. Saif bergerak dengan gesit. Ternyata ia jago bertarung juga, pikirku.
Eh, tapi di mana Sang Ketua dan Alle? Apa mereka kabur?
Saif dan Cake terlihat menghindari pertempuran itu. Mereka membicarakan sesuatu. Saif melihat sekeliling. Ia pasti sedang memikirkan hal besar.
"Oh tidak, Saif! Di belakangmu!" Aku berteriak ketika melihat ada seorang anak buah Sang Ketua yang mau menusuk Saif dari belakang. Namun, Cake menghentikannya. Ia tahu ada yang mengikuti.
"Sejak kapan kau mengenalnya?" Kakek Dane mulai bertanya.
"Sejak kuliah." Kataku dengan santai.
"Kuliah? Apa itu?"
"Semacam menuntut ilmu di sebuah tempat formal."
Kakek Dane mengangguk. "Ia bercerita tentang pembunuh orang tuanya. Bagaimana ia bisa tahu?"
"Sama seperti ketika kau melihat video kekejaman anakmu. Saif bisa melihat masa lalunya, tapi tidak lengkap dan buram. Yang aneh adalah Saif mengatakan bahwa pembunuh itu yang membuangnya ke dunia lain. Tapi, kenapa Sang Ketua kejam itu tidak tahu kalau Fey punya kembaran? Seharusnya ia tahu karena ia yang membuangnya."
Kakek Dane menggeleng. "Bukan Adire yang melakukannya. Ketika mereka lahir, Adire tidak sempat melihat keduanya. Ia hanya melihat salah satunya, yaitu Fey. Sedangkan adik Fey sudah hilang sebelum pembunuhan itu."
Aku mengerutkan dahi. "Ini aneh sekali. Apa ada yang menculiknya, kemudian membuangnya ke dunia lain? Atau ayahnya sendiri yang membawanya?"
Eh, aku mengatakan apa tadi? Ayahnya sendiri yang membawanya atau membuangnya ke bumi? Aku langsung menutup mulut. Atau ada kemungkinan lain?
"Tidak. Ia tidak mungkin membuang anaknya. Ia sangat menyayanginya."
Aku mengangguk setuju. Seorang ayah yang terkenal baik hati tidak mungkin melakukan hal itu, bukan?
Tiba-tiba aku teringat sesuatu. "Tunggu. Yang membuat semua kata kunci ruang pemerintahan di istana adalah anak pertamamu, bukan?"
Kakek Dane mengangguk.
"Kalau begitu, mengapa di pintu kedua itu kata kuncinya adalah bumi? Dari mana ia mengetahui bumi? Kakek tidak mengetahui tentang bumi sebelumnya, bukan?"
Kakek Dane mengangguk lagi. "Aku tahu arah perkataanmu. Ya, pasti ayahnya yang membawanya ke bumi sebelum pembunuhan itu terjadi. Tapi, aku tidak tahu alasannya. Apa hanya karena impian, ia rela berpisah dengan anaknya?"
Aku mengangguk. Pasti ada alasan kuat mengapa Saif dibawa ayahnya sampai ke bumi.
"Atau ia memang sudah mengetahui rencana pembunuhan itu?" Syin menyambung.
Aku menerka-nerka. "Itu bisa jadi. Tapi jika ia memang sudah tahu, mengapa tidak keduanya saja yang dibawa agar selamat dari Sang Ketua?"
"Aku ingat!"
Aku kembali menoleh pada Kakek Dane.
"Ia menitipkan salah satu anaknya padaku karena aku sangat menyayanginya. Mungkin itu sebabnya ia tidak membawa keduanya. Aku terlalu keras kepala karena tidak percaya pada ceritanya tentang kejanggalan dari sikap saudaranya. Dan akhirnya semua terungkap setelah ia dan istrinya terbunuh dengan keji. Saudaranya menikam dari belakang dengan senjata tajam. Dan ia merebut Fey dariku, kemudian mengusirku yang tidak berdaya."
Aku mengangguk. Ternyata seperti itu ceritanya. Ah, begitu dramatis, bukan?
Pandanganku kembali tertuju pada layar besar yang ada di depan. Eh, apa ini? Saif mendekati foto besar yang terpajang di ruang kosong. Itu foto Sang Ketua. Ia melepas foto itu. Aku terkejut. Ada pintu masuk, namun terkunci. Saif memainkan tabletnya. Ia memandang sekitar sekali lagi untuk memastikan bahwa perhatian mereka masih teralihkan oleh pertempuran. Mereka terlihat sama-sama kuat dan terlatih.