Jejak Seribu Dunia

Faridatun Nisa
Chapter #12

Jejak dan Pulang

Tuhan Maha Baik.

***



Pintu terbuka otomatis. Di depan terlihat hamparan berwarna biru. Ya, indah sekali. Seperti laut dan langit yang berpelukan di bumi. Tapi, ini bukan bumi. Jangan tertipu olehnya. Hamparan di depan adalah tanah, bukan laut maupun langit.

Tidak ada pohon yang tumbuh di sana. Seperti padang pasir mungkin. Ada seekor binatang yang mendekat. Binatang aneh. Mungkin mirip seperti beruang kecil berwarna kuning.

"Lucu sekali." Aku berlari ke arahnya. Bulunya sangat lembut. Aku menoleh. "Ayolah. Kalian lama sekali. Ini sungguh menggemaskan."

Wanita muda itu tertawa. "Itu seekor Orame."

"Hem, benarkah? Namanya aneh, tapi tetap lucu."

"Apakah ia sudah mengirim pesan?"

Aku menoleh lagi. Kini menoleh pada Kakek. "Mungkin sebentar lagi."

"Ah, udaranya sedang panas. Sebaiknya kita ke rumahku saja. Kuharap letaknya belum berubah setelah renovasi besar-besaran." Wanita itu mendekat dan mengulurkan tangannya padaku. 

Aku mengangguk dan menerima ulurannya. Kakek mengikuti dari belakang. Pintu roket itu tertutup lagi setelah semuanya keluar.

Belum ada jalanan yang dibangun. Hanya ada beberapa bangunan rumah yang masih baru. Bentuk rumahnya bukan lagi bulat atau lonjong, melainkan persegi. Semuanya persegi. Warnanya bahkan sama dengam tanahnya, biru. Aku sampai sulit membedakannya. 

"Apa rumahnya jauh, Syin?"

Wanita muda itu menggeleng. Tingginya hampir sama denganku, lebih tinggi ia beberapa senti saja.

"Sebentar lagi sampai. Aku masih mengingat jalannya walaupun banyak yang berubah. Bencana itu sungguh merepotkan." Ia tersenyum padaku. Sangat manis dan cantik.

Beberapa orang terlihat masih bekerja membangun rumah mereka. Mereka melambai. "Apa kalian pendatang baru dan mau menetap di kota ini?!" Seorang lelaki paruh baya berteriak.

Aku tersenyum karena bisa memahami bahasa mereka. Baju ini masih berfungsi dengan baik.

"Ya, Paman. Semangat bekerjanya!" Syin yang menjawab.

Lelaki itu mengangguk. Jiwa kekeluargaan mereka sangat baik.

"Nah, itu sepertinya rumahku. Coba kau cek terlebih dahulu."

Aku mengangguk dan langsung mengeluarkan tablet dari dalam saku. Aku mengetik dua kata, "Rumah Syin" dan langsung muncul cahaya hijau dari sana. Itu berarti alamatnya benar.

"Baguslah. Mari kita masuk!" Syin melangkah lebih dulu. Aku dan Kakek di belakangnya.

Di waktu yang sama, seorang wanita keluar dari dalam rumah. Ia memakai pakaian serba putih. Terlihat anggun. Matanya tertuju pada Syin. Pandangan mereka bertemu.

"Ibu!" Syin berlari dan memeluk ibunya. "Aku rindu."

Ibunya melepaskan pelukan. Ia memandang putrinya dengan tatapan tidak percaya. "Kau sudah pulang?" Ia menangis. "Ayah! Anak kita pulang!"

Ada suara benda jatuh dari dalam rumah. Seorang lelaki berusia empat puluh tahunan keluar dengan wajah terkejut. "Kau? Syin?" Ia langsung memeluk Syin.

"Iya, Ayah. Ini Syin anak kesayanganmu. Aku sudah pulang."

Ayahnya melepas pelukan. Ia balik memandangku dan Kakek. "Kakek." Ia mendekati Kakek dan mencium tangannya. "Terimakasih sudah mau menjaga anakku selama setahun ini."

Kakek Dane mengangguk. "Seperti janjiku setahun yang lalu. Aku akan mengembalikannya padamu lagi."

Mereka berpelukan.

"Baiklah. Apa tidak sebaiknya kita masuk sekarang? Aku sudah rindu masakan ibu!" Syin berteriak.

"Tapi, siapa gadis ini?" Ayah Syin menoleh padaku.

Syin berlari dan memegang tanah ayahnya. "Sudahlah. Akan kuceritakan nanti. Kita makan dulu." Ia memasang wajah memelas.

"Kau seperti orang kelaparan." Ayahnya tertawa.

Rumah ini tidak begitu besar jika dilihat dari luar. Sama seperti rumah Cake di dunia Alwee. Bedanya, rumah ini ternyata bertingkat. Aku tahu setelah masuk ke dalamnya. Ada tiga lantai. Lantai pertama untuk ruang tamu. Dapur, tempat bersantai, dan tiga kamar ada di lantai dua, sedangkan yang paling atas tidak ada kamar atau ruangan apa pun, mungkin sebagai tempat untuk menikmati keindahan dunia Ormic dari atas.

"Aku memiliki banyak cerita yang menarik untuk Ayah." Syin terlihat ceria setelah melihat meja makan sudah penuh dengan makanan. "Ah ya, ternyata ibu sudah memasak banyak."

Ayahnya tertawa. "Kau ingin bercerita atau menikmati masakan ibumu? Sebenarnya jika kau belum pulang, makanan ini akan diberikan pada para pekerja di luar."

Syin berubah cemberut. "Benarkah? Artinya aku tidak dapat makanan?"

"Siapa yang mengatakan itu? Semua makanan ini untukmu dan juga tamu kita. Ibu akan memasak lagi untuk para pekerja itu." Ibunya bergegas ke dapur untuk menyiapkan makanan lagi.

"Lihat? Betapa ibu sangat menyayangiku." Syin menatap ayahnya dengan tatapan mengejek.

"Kau terlalu manja."

Aku terdiam melihat keakraban mereka, teringat pada Mama dan Papa. Apa mereka juga merindukanku? Mereka tidak tahu bahwa yang tidur di dalam rumah dan melakukan kegiatan rutinku hanyalah sebuah robot.

"Hune? Eh, maksudku Hafidza? Kau tidak makan?"

Lamunanku buyar. Syin bergerak menyajikan makanan untukku. Ia sangat baik.

"Terima kasih."

Syin mengangguk. "Cobalah masakan ibuku. Sangat enak."

Bentuk makanannya persegi. Lagi-lagi persegi. Warnanya berbeda-beda. Lebih banyak warna biru. Aku mencoba satu. Rasanya manis dan ada rasa tepungnya. Sepertinya semua masakan yang disajikan rasanya manis.

"Enak, bukan?"

Aku mengangguk. 

Lihat selengkapnya