Jejak Seribu Dunia

Faridatun Nisa
Chapter #13

Kuliah Kembali

Percayalah, masa yang paling indah adalah masa menuntut ilmu.

***



Kamar ini hening. Pikiranku menembus jauh ke tempat itu. Sebuah tempat di mana langit dan laut bertemu. Mereka sungguh akrab, berpandangan dan berpelukan layaknya keluarga, walaupun hakikatnya terpisah.

Tak jauh dari laut, sebuah bangunan bertingkat berdiri gagah. Ada tiga lantai. Lantai pertama untuk kegiatan belajar-mengajar. Lantai kedua adalah tempat di mana kamar-kamar anak lelaki berjejer rapi bersama kamar pengurus. Sedangkan lantai paling atas adalah kamar perempuan. Di situ juga ada tempat kosong untuk bersantai dan menikmati keindahan laut dari atas.

Sejauh mata memandang, banyak para wisatawan berkunjung kemari untuk bersuka ria di pantai, menangkap gambar dengan kamera, dan ada juga yang hanya termenung memikirkan kehidupannya. Di antara mereka bahkan ada yang sempat mengunjungi panti ini. Dengan suka rela, mereka memberi sumbangan dalam jumlah besar hingga puluhan juta.

Aku membayangkan akan bisa hidup menjadi anak orang kaya. Bisa bersekolah di tempat yang nyaman, bertemu dengan banyak orang kota, memiliki kendaraan yang mahal, dan bisa berjalan-jalan ke supermarket yang terkenal untuk berbelanja sepuasnya. Terdengar materialistis. Tapi, itulah aku ketika masih kecil dan belum tahu arti kehidupan. Aku hanya ingin bahagia. Itu yang kutahu. 

Berita besar itu adalah jawabannya. Sepasang suami istri yang kaya raya mengadopsiku. Mereka menyukaiku sejak pertama bertemu.

"Siapa namamu?" Perempuan itu bertanya.

"Hafidza."

Ia mencium keningku begitu lembut. Aku bisa merasakan kasih sayang seorang ibu yang selama ini juga kudambakan.

Seorang anak lelaki mengintip dari balik pintu kantor, tempat aku menemui panggilan pengurus untuk bertemu mereka. Aku bisa melihat ada kesedihan tersirat di matanya. Tapi, ia tidak bisa mengatakannya ataupun mengeluarkannya dengan air mata. Ia adalah anak lelaki terkuat yang pernah kukenal.

Hari ulang tahun adalah hari perpisahan. Hari di mana hari-hari yang berlalu menjadi coretan indah di atas kertas kehidupan. Hamparan lautan yang terbentang jauh di depan adalah saksi mata perjalanan.

Ia memegang erat tanganku. "Jika kau rindu padaku, lupakan saja aku. Tapi, jika kau tidak merindukanku, ingatlah selalu diriku, jangan pernah lupakan cerita mereka." Ia menunjuk laut dan langit yang berpelukan.

"Mengapa aku harus melupakanmu jika aku rindu?"

"Karena rindu hanya akan membuatmu sakit."

"Benarkah?"

Ia mengangguk.

"Kalau begitu, aku tidak mau merindukanmu agar aku bisa mengingatmu selalu."

Mereka membawaku pergi jauh ke kota, tempat di mana aku dibesarkan.

Pintu diketuk. Gambaran itu segera hilang dari pelupuk mataku.

Aku beranjak membuka pintu. Mama. Aku memeluknya dengan erat.

"Eh, ada apa dengan anak Mama?"

"Aku merindukan Mama."

Mama melepas pelukanku. "Rindu? Bukankah setiap hari kita bertemu? Kau menangis? Lihat ini, matamu merah. Ada apa? Coba ceritakan pada Mama."

Aku menggeleng. "Tidak. Aku tidak menangis. Aku baru saja bangun, mungkin itulah sebabnya mataku sedikit merah." Aku sengaja berbohong pada Mama, meski aku tahu itu adalah dosa. Aku senang, aku bisa menangis lagi setelah sekian lama aku menahannya.

"Ternyata kau menyembunyikan sesuatu. Matamu merah tidak mungkin hanya karena baru bangun tidur. Biasanya kau tidak seperti ini. Kau sudah tidak percaya lagi pada Mama sehingga tidak mau cerita?"

"Ya, aku akan cerita bahwa aku sayang Mama dan Papa. Itu yang membuatku menangis. Di mana Papa?"

"Kau pandai sekali mengelak. Tentu saja Papa sudah berangkat ke kantor untuk bekerja. Baru kali ini kau menanyakan Papa pagi-pagi. Padahal setiap malam bertemu di meja makan."

Mereka benar-benar tidak tahu mengenai robot itu.

"Kau tidak berangkat kuliah hari ini?"

"Hari ini kuliah jam siang."

"Pantas saja kau masih santai. Cepatlah bersiap, kemudian sarapan. Walaupun kuliah siang, kau sudah terbiasa berangkat pagi, bukan? Alasanmu satu. Perpustakaan."

Aku tersenyum. Mama sudah hafal kebiasaanku. Tapi, tujuanku sekarang bukan perpustakaan, melainkan tempat lain. Setelah bersiap-siap dan sarapan, aku pamit, kemudian bergegas mengendarai mobil. 

Sebuah tempat di mana aku bisa memandang mereka. Ya, mereka adalah laut dan langit yang berpelukan, meskipun tempatnya berbeda. Beruntung sekali di kota ini ada laut yang bisa memuaskan dahaga bagi mereka yang menyukainya. Memang agak jauh dari rumah, sekitar perjalanan setengah jam menggunakan mobil. Itu pun harus dengan kecepatan yang tidak biasa. Bagiku tidak masalah.

Aku menatap sekitar. Ternyata suasana begitu ramai. 

Mataku terpaku pada gadis kecil berkepang dua. Ia berlari di atas pasir yang lembut. Tangannya yang halus menjadi kotor oleh pasir. Ia begitu ceria, sama cerianya denganku ketika anak lelaki itu mengejarku.

"Tunggulah! Aku menyerah!"

Anak lelaki itu sudah banyak berkeringat. Aku berhenti dan menatapnya dengan tatapan mengejek. "Kau kalah lagi!" Aku balik tertawa.

Ia berjalan sempoyongan ke arahku.

"Sudahlah. Apa kau tidak lelah? Kita makan siang dulu."

Aku mengangguk dan berlari lagi. Tapi, ah! Aku terlalu bersemangat hingga terjatuh. Bukannya menangis, aku malah tertawa.

Lihat selengkapnya