Aku menyukai bumiku, kau, dan Allah.
***
Seperti biasanya. Rumah ini terlihat sunyi. Bagiku menyeramkan jika dari luar.
Aku membuka gerbang. Mobilnya terparkir di halaman rumah. Sebuah robot berbentuk kucing keluar dari rumah dan menghampiriku.
"Halo Deri, sudah lama aku tidak bertemu denganmu. Di mana tuanmu?"
Ekornya bergerak ke kanan dan ke kiri.
"Eh, sejak kapan ekormu tidak kaku lagi? Ya lumayan, walaupun masih menjulang ke atas." Aku tertawa kecil.
Ia berlari lagi ke dalam rumah.
Aku mengejarnya. Ah, hilang.
Ruang tamu ini berantakan lagi. Ya, seperti awal pertama ke sini. Selama empat tahun ia memang tidak berubah.
Ada suara benda jatuh. Ia pasti ada di ruang percobaan. Aku membuka lemari yang ada di samping pintu kamar.
Eh, sebuah robot biru ada di dalamnya. Robot itu berukuran sama dengan Deri. Bentuknya seperti robot pada umumnya dan aku ingat sesuatu. Robot itu mirip dengan robot lelaki itu waktu kecil.
"Mengapa kau menyukai boneka biru?"
"Aku suka memandang laut itu yang berpadu dengan langit. Semua terlihat biru. Warnanya sangat mirip dengan boneka ini."
"Oh ya? Suatu hari, aku akan mengajakmu berpetualang ke dunia lain dengan robotku. Warnanya biru seperti boneka ini. Lihat ini!" Anak itu memperlihatkan robotnya.
"Benarkah?"
Ia mengangguk padaku. Gelombang kecil di laut terdengar bergemuruh melihat kami. Mereka berpelukan bersama langit biru.
Aku masuk ke dalam lemari. Robot itu tidak begitu besar sehingga aku bisa masuk. Aku mendorong lemari itu dan memasuki ruang percobaan.
Benar. Ia sedang memainkan tabletnya di sana ditemani Kakek.
"Halo. Kau membuat robot biru lagi?"
Ia menoleh dan mengangguk. "Sebenarnya bukan membuat lagi. Aku hanya memodifikasi robot kecilku yang dulu hingga bisa berfungsi dengan baik."
"Ah, ternyata kau juga mengundangnya ke sini, Fez." Kakek memanggil Saif dengan namanya yang dulu. Hanya penduduk bumi yang mau memanggilnya dengan nama Saif.
"Kakek bisa bahasa bumi?" Aku kembali bertanya.
"Ah tidak. Fez memberiku sebuah pakaian hingga aku bisa menyesuaikan diri dengan sekitar."
Oh, ternyata baju itu. Aku mendekat dan duduk di samping Saif. Ia memberiku sebuah gelang berwarna putih.
"Pakailah! Kau tidak akan mengerti bahasa mereka."