Dia duduk di bawah bayangan pohon, menimbang dan berpikir.
Di belakangnya ada sebuah hutan. Pepohonannya tinggi, dan lantai hutannya dipenuhi semak-semak. Cahayanya redup, sekalipun matahari bersinar sangat terik. Kalau malam dan bulan sedang bersinar terang, kau masih bisa melihat pohon, tapi tidak bisa mengetahui arah. Kalau bulannya tertutup awan, kau tidak akan bisa melihat telapak tanganmu sendiri.
Di depan hutan itu ada sebuah jalan, dan di seberang jalan ada halaman berumput yang luas. Rumputnya hijau dan dipotong dengan baik, walaupun rumput di bagian tepi sudah agak tinggi. Sebuah pohon mangga tumbuh di sisi halaman yang jauh dari jalan, dan sebuah rumah berdiri di belakang pohon itu.
Si Pria, yang sedang duduk di bawah bayangan pohon, mengamati rumah itu. Bagus, bergaya joglo modern, berwarna putih, dirancang oleh salah satu arsitek terbaik di Indonesia. Sangat cocok untuk ditempati sebuah keluarga. Dan memang ada sebuah keluarga yang tinggal di sana.
Dulu pernah ada masa bahagia bagi keluarga di rumah itu. Sepasang suami istri dan empat orang anaknya. Ya, keluarga itu pernah bahagia. Si Pria mengingat-ingat, sudah lama sekali. Bertahun-tahun. Suatu malam, sepasang suami istri itu menghilang, dan keempat anaknya harus hidup mandiri. Padahal mereka masih anak-anak. Yang terkecil baru enam tahun.
Si Pria mengingat-ingat lagi. Sudah berapa lama? Oh, dia lupa. Ini pertama kalinya dia melihat matahari setelah waktu yang sangat panjang. Dia sudah kehilangan hitungan, rasanya sudah ribuan tahun. Tapi tidak, tidak sampai ribuan. Mungkin sepuluh tahun, atau tidak? Dia yakin antara tiga, empat, atau lima tahun. Ah, tapi itu tidak penting. Pokoknya sudah bertahun-tahun lamanya, bertahun-tahun yang panjang, keluarga itu tidak bahagia.
Dia merogoh saku belakangnya, lalu mengambil sebuah amplop. Amplop yang biasa, berisi sebuah foto. Dia memperhatikan foto itu. Foto yang sangat jernih, yang sangat mengerikan. Yang menyampaikan setiap rasa takut dan putus asa orang-orang yang ada di dalamnya. Diambil sehari yang lalu, di dalam sebuah kamar penyiksaan. Dia penasaran, apakah keempat anak itu akan menjerit ketakutan saat melihatnya.
Dia tersenyum. Ya, pastinya. Setiap orang yang hatinya masih hidup pasti akan menjerit melihatnya. Dan memang untuk itu lah foto itu dimaksudkan: menciptakan ketakutan.
Dia membalik foto itu, mengambil pulpen dari saku bajunya, dan mulai menulis. Oh, ini pertama kalinya dia menulis setelah sekian lama. Tulisan tangannya berubah, menjadi lebih buruk. Dia menulis satu kalimat, lalu membacanya. Apakah cukup jelas? Ya, ini cukup jelas. Anak-anak itu pasti bisa membacanya. Lalu dia menulis kalimat selanjutnya, sesuai dengan apa yang telah diperintahkan padanya untuk ditulis.
Tapi kemudian dia berhenti. Dia ragu. Jika dia melanjutkan, anak-anak itu akan menghadapi banyak kesulitan. Hal-hal yang sangat beresiko. Mereka tidak akan punya peluang, dan tidak akan berhasil. Si pria memandang halaman berumput, apa yang dikatakan Miguel kemarin?