Ini adalah malam yang dingin. Cahaya bulan tertutup awan tebal dan hampir tidak ada orang yang masih terjaga di daerah itu. Para jangkrik rasanya berbunyi lebih keras dari biasanya dan sudah tiga malam para katak tidak mau diam. Hujan baru saja berhenti turun ketika sebuah mobil yang berjalan dengan agak ngawur memasuki halaman berumput yang luas. Mobil itu masuk ke dalam garasi, mesinnya dimatikan, lalu seorang perempuan muda keluar dari pintu sebelah kanan depan.
Kalau boleh memilih, Tyas ingin sekali langsung melompat ke tempat tidur dan bermimpi indah. Beberapa hari ini dia sedikit sekali tidur, dan banyak sekali yang harus dipikirkannya. Saking banyaknya sampai-sampai dia lupa apa saja yang sudah masuk dan keluar dari kepalanya seharian ini. Dia juga sudah lupa kapan terakhir kali dia menjalani hari yang pendek, mudah, dan menyenangkan. Dan dia juga hampir saja lupa membawa senter saat kakinya sudah menginjak rumput halaman, sehingga dia harus kembali masuk ke garasi untuk mengambilnya.
Kebiasaan yang Tyas lakukan hampir setiap malam adalah, ketika belum ada satupun lampu rumah yang menyala, dia akan berjalan sendirian melintasi halaman rumah, menyeberangi jalan, lalu masuk ke dalam hutan yang gelap dan menyesatkan.
Banyak orang menganggap tindakannya ini berbahaya. Hutan itu tidak luas, tetapi sangat lebat. Cahaya di hutan itu selalu redup, dan di malam yang berawan kegelapannya sangat pekat. Tata letak pepohonannya terlalu aneh untuk otak manusia, sehingga orang yang merasa berjalan lurus sebenarnya berjalan memutar, dan orang yang merasa berjalan memutar sebenarnya tidak berjalan kemana-mana. Sedikit sekali orang yang berani memasukinya, dan itupun hanya di pinggirannya, sejauh mata mereka masih bisa melihat jalan. Tapi Tyas, dia berjalan sangat dalam. Dia begitu mengenali pepohonan di sana. Begitu akrab, sehingga dia tahu pohon mana yang baru tumbuh dan pohon mana yang baru tumbang. Dulu ayahnya sering mengajaknya ke sana. Berjalan masuk hingga ke tengah hutan untuk berkemah, atau berkeliling untuk mencari tumbuhan obat yang banyak manfaatnya, atau kadang kalau sedang beruntung, melihat jamur yang bisa menyala dalam gelap, yang setahu Tyas tidak tumbuh di tempat lain.
Tyas menghidupkan senternya, mengarahkan cahayanya ke depan, lalu melangkahkan kaki melewati batas jalan dan masuk ke hutan. Suasana mencekam yang kuat segera menyelimuti dirinya, dan perasaan sedang diawasi akan membuat orang yang belum terbiasa segera berlari kembali. Tapi Tyas sudah berulang kali merasakan perasaan itu dan memilih untuk mengabaikannya. Dia memasuki sebuah jalan setapak sempit dan menyusurinya dengan cepat sambil tetap memperhatikan kalau-kalau ada garangan atau ular yang melintas tiba-tiba di depannya. Dia berjalan lurus selama tiga menit (dia tahu caranya berjalan lurus), lalu berhenti setelah sampai di depan sekumpulan tumbuhan paku.
Setelah itu, Tyas berjalan di dalam hutan dengan jalur tertentu: dari tumbuhan paku, dia belok ke kiri. Sampai di sebuah mata air, dia belok ke kanan. Lalu dia terus berjalan sampai menemukan sebuah lembah. Tyas menuruni lembah itu sampai dia menjumpai sebuah batu kapur sebesar televisi tabung. Dari sana, dia berbelok ke kanan dan berjalan sepanjang dasar lembah sampai ke sebuah pohon meranti yang batangnya ditumbuhi anggrek hutan. Dia berhenti di sana, lalu menyibakkan dedaunan kering dibawahnya dengan kaki, sampai dia menemukan sebuah pintu jebakan (yaitu pintu yang mengarah ke bawah, bukan pintu yang bisa menjebak seseorang. Aku menerjemahkannya langsung dari bahasa Inggris, trapdoor).
“Kalian cepat keluar!” teriak Tyas, menggedor-gedor pintu jebakan itu dengan kakinya. “Adi, Dimas, Cepat! Ini sudah malam.”
“Tunggu sebentar.” kata suara dari bawah. Tyas mundur satu meter dan pintu itu kemudian terbuka. Seorang anak kecil keluar dari sana. Diikuti oleh dua orang yang lebih besar. Orang yang terakhir keluar menutup pintu, menguncinya, lalu menutupi pintunya dengan dedaunan kering.
“Bisa tidak kalian sehari saja menjadi adik yang baik dengan tidak sembunyi berjam-jam di tempat ini?” tanya Tyas. Menarik mereka bertiga melintasi hutan yang gelap dan dingin menuju ke rumah.
“Kami tidak sembunyi. Kami berinovasi, menciptakan penemuan.” jawab Adit.
“Penemuan? Seperti pesawat-pesawatan gagal yang nabrak trafo lalu mematikan listrik seluruh desa?”
“Itu kecelakaan. Kami sudah minta maaf dan dronenya sudah kami sempurnakan.” kata Adi, mengeratkan jaket yang dipakainya karena udara semakin dingin.
“Tapi kalian sudah kebablasan. Kalian di sana terus dan keluar hanya untuk makan dan buang air.” bentak Tyas.
“Kami ke masjid juga, sebenarnya,” kata Adi. “dan jika kakak lupa, ayahlah yang membuatkan laboratorium itu untuk kami. Karena dia tahu kami punya bakat. Tidak seperti kakak, yang bahkan kemana ayah dan ibu menghilang pun kakak bisa melupakannya.”
Tyas tiba-tiba menjerit dan menampar Adi hingga kepalanya membentur batang pohon. Adit segera menarik Dimas yang ketakutan menjauh dari kedua kakaknya.
“Berani sekali kau!” kata Tyas keras, memandang marah Adi yang memegangi pipinya. Tapi kemudian dia berlari sambil menangis, karena dia sadar Adi benar, dan karena ingatan tentang peristiwa itu memenuhi kepalanya lagi.
Malam itu adalah malam ulang tahunnya yang ke sembilan belas. Lima tahun lebih muda dari sekarang. Malam yang dingin dan gelap. Ia sedang mengobrol dengan ibunya ketika seseorang mengetuk pintu depan. Ayahnya membukakan pintu dan dua orang pria kulit putih masuk. Mereka bertato, bertindik, dan tubuh mereka penuh bekas luka.
Kelihatan sekali mereka bukan orang baik-baik, walaupun mereka memakai setelan batik yang sangat resmi.
“Tyas, masuklah dan pastikan Dimas sudah tidur. Dan pastikan Adit tidak mengganggu Adi menyelesaikan tugas prakaryanya. Aku tak mau mereka bertengkar meributkan siapa yang rancangannya paling bagus seperti yang sudah-sudah. Dan katakan aku akan menghentikan pembangunan laboratorium rahasia mereka jika mereka tidak bisa diam.” perintah sang ayah.
Tyas masuk ke kamar Dimas dan menyelimuti adik bungsunya, membereskan Lego yang berserakan, lalu mematikan lampu. Ia kemudian pergi ke ruang keluarga dan menemukan Adit dan Adi sedang berdebat.
“Tidak! Aku tak mau kapal gabusku bentuknya kaku seperti itu. Kapal seharusnya hidrodinamis, dan memiliki daya ledak yang hebat.” kata Adi, berusaha membuat bicaranya terdengar seperti guru besar.
“Tentu saja kapalmu akan punya daya ledak yang besar jika kau meletakkan Coca Cola dan Mentos di dalamnya.” kata Adit sinis.
“Bukan itu maksudku. Maksudku, kapalnya harus bisa berakselerasi dengan cepat, seperti NOS di mobil. Coca Cola dan Mentosnya pasti berhasil.
“Diam kalian berdua, sedang ada tamu di depan. Dan kau Adit, berhenti mendebat adikmu. Ini tugas prakaryanya, bukan tugasmu.” kata Tyas tegas.
“Tapi rancanganku memang lebih bagus,” protes Adit. “Kapal versiku dapat dikendalikan pakai remote control. Itu pasti akan membuat teman-temannya kagum dan dia bakal dengan mudah memenangkan balapan.”
“Tapi itu pelanggaran!” kata Adi keras.
“Kau meletakkan Coca Cola dan Mentos dalam kapalpun sudah pelanggaran.”
“Berhenti kalian berdua, atau alat laboratorium yang dijanjikan ayah tidak akan jadi dibeli.” kata Tyas galak.
“Tapi kan ayah sudah janji.” kata Adi, memprotes dengan nada memohon.