Ponsel Hanif berdering menandakan adanya panggilan masuk. Saat melihat siapa yang menghubunginya, Hanif menyeringai penuh kemenangan. Kali ini ia berhasil menjebak targetnya lagi.
"Adam! Adam! Aku butuh bantuan mu!" Suara di seberang sana terdengar gusar namun Hanif santai saja mendengar hal itu. Ia sudah tahu kalau pria paruh baya itu akan menghubunginya.
"Ada apa Pak Rendi?" Tanya Hanif pura-pura khawatir.
"Tolong aku Hanif! Uang di dalam rekening ku semuanya menghilang. Tak hanya itu, uangmu juga ikut lenyap."
"Ya ampun, bagaimana bisa? Sejak kapan uang itu menghilang Pak?"
"Sudah tiga hari yang lalu uang di rekening ku menghilang."
"Lalu bagaimana dengan uang ku Pak?"
"Kau jangan panik, aku sudah menyuruh orang suruhan ku untuk mencari tahu apa yang terjadi pada rekeningku."
"Kenapa Bapak baru bilang sekarang?"
"I... Itu aku tak enak untuk bilang padamu. Hmm... Begini saja Hanif, apa aku boleh meminjam uang dulu padamu?"
"Bapak ini bagaimana? Sebagian modal ku saja sudah ku taruh untuk perusahaan Bapak, kenapa sekarang Bapak malah ingin meminjam uang padaku?" Hanif mencoba memprotes pria tua itu.
"A... Aku janji akan menggantikan uangmu berkali-kali lipat setelah aku berhasil menaikkan saham perusahaan. Aku sudah tak tahu lagi harus meminjam uang pada siapa. Semua teman-temanku menolak saat aku ingin meminjam uang pada mereka." Pria paruh baya itu benar-benar terdengar putus asa.
Hanif tersenyum remeh. "Apa jaminannya untukku? Bapak bahkan sudah menghilangkan uang yang ku berikan. Kalau nanti uangku hilang lagi bagaimana? Apa aku harus lapor polisi untuk hal itu?"
"Ja... Jangan. Aku akan memberikan apapun padamu asalkan kau mau meminjamkan uang padaku. Ayolah Hanif, kau tahu kan aku orang yang bisa di percaya?"
Hanif menghela napas seolah ikut larut dalam keputusasaan pria itu. "Baiklah, aku akan meminjamkan uang untuk Bapak. Tapi ada syaratnya."
"Sebutkan saja syaratnya, apa pun itu akan aku lakukan."
"Baiklah, kalau begitu nanti kita bisa bertemu di sebuah kafe. Nanti aku akan mengirimkan alamatnya lewat pesan."
***
Jam makan siang sudah terlewat, dengan santai Hanif melangkahkan kakinya masuk ke dalam sebuah kafe. Ia bisa melihat Rendi sudah berada di sana menunggunya dengan wajah sumringah.