Azam yang sedang fokus mengerjakan tugasnya langsung menaruh alat tulisnya. Ia beranjak bangun untuk membuka pintu saat mendengar Maryam mengucap salam. Gadis itu baru saja pulang bekerja dari toko bunga milik Bibinya.
"Azam, kau sudah makan?"
"Belum Kak."
"Kamu ini kebiasaan sekali... Ayo makan dulu. Bibi tadi membawakan makanan untuk kita."
"Iya Kak."
Azam pun beranjak pergi ke dapur untuk mengambil peralatan makan lalu menyiapkan makanan yang sudah Maryam taruh di meja makan. Sedangkan Maryam sendiri mandi dan mengganti baju terlebih dahulu, baru setelahnya bergabung ke meja makan untuk makan bersama Azam.
Saat Azam sedang asik menikmati makanannya, Maryam mulai membuka percakapan.
"Sudah beberapa minggu ini toko bunga milik Bibi banyak sekali mendapat pesanan. Kau tahu? Itu karena Kak Hanif membantu memasarkan toko bunga milik Bibi di internet."
"Benarkah?" Sahut Azam dengan malas.
"Azam, kamu masih belum percaya kalau Hanif orang baik?"
Azam berdecak kecil namun tetap terdengar oleh Maryam.
Maryam pun menghela napasnya sejenak. "Asal kau tahu Azam, sekarang ini Kakak tidak terlalu merasa lelah setelah bekerja. Kau tahu kenapa? Karena hampir semua pekerjaan Kakak di kerjakan oleh Kak Hanif. Rasanya Kakak seperti tidak bekerja di tempat Bibi."
"Bukankah itu wajar. Dia kan seorang pria, sudah seharusnya dia membantu." Azam masih tak mau kalah pada pendiriannya.
"Iya, Kakak tahu. Tapi tetap saja semua pekerjaan itu melelahkan. Dia bahkan tidak mau mengambil bonus dari Bibi."
"Aku harap dia memang tulus membantu Kakak."
"Kau bisa lihat sendiri nanti. Datang saja ke toko Bibi saat kau libur kuliah."
"Kenapa Kakak bersikeras kalau dia orang yang baik? Apa Kakak menyukai dia?"
Seketika Maryam terdiam, ia terkejut dengan pertanyaan sang adik. Pertanyaan itu seolah menyudutkan tetapi juga menyadarkan Maryam tentang perasaannya sendiri. Ia akui selama bersama Hanif, ia merasa nyaman.
"Kau lupa kalau Kakak mu ini buta? Kalau sudah selesai, kau bisa langsung membereskan peralatan makan. Kakak mau ke kamar." Maryam pun beranjak pergi menuju kamarnya
Kini Azam yang terdiam. Ia merasa bersalah telah membuka luka lama Kakaknya. Tapi ia juga mendapat jawaban lain dari perkataan Maryam barusan.
"Aku tak menyangka kau akhirnya jatuh cinta pada seseorang Kak. Tapi yang bisa kau lakukan sekarang hanyalah memendam perasaan itu sendiri. Aku mengerti, kau hanya terlalu takut orang yang kau cintai tak mau menerima kekuranganmu itu." Azam menatap sendu pintu kamar Kakaknya.
***
Mengingat perkataan Maryam sebelumnya, Azam pun akhirnya benar-benar datang ke toko bunga Bibinya saat libur kuliah. Ia ingin membuktikan sendiri perkataan Maryam.
Saat Azam datang, ia melihat Hanif sedang mengangkat bibit bunga yang jumlahnya cukup banyak ke dalam keranjang motor. Lalu sehabis dari sana, Hanif membantu Maryam menulis beberapa pesanan. Biasanya Maryam akan menghapal pesanan yang ia terima lalu menyebutkan semuanya agar di catat oleh Hanif.
Hanif yang melihat Azam datang pun menyapa nya sebentar lalu beranjak pergi membereskan bibit tanaman. Beberapa bibit di sana terlihat berantakan dan juga terdapat banyak daun atau bunga kering yang berguguran di sekitarnya. Pria itu benar-benar terlihat sibuk, ia terus bolak balik membersihkan itu semua.
Setelah selesai membersihkan area itu, baru lah Hanif menghampiri motornya dan pergi mengantar pesanan.
"Kak, apa setiap hari dia seperti itu?" Tanya Azam yang baru menghampiri Maryam setelah memperhatikan Hanif sedari tadi.