Saat itu ketika Maryam baru saja bangun untuk melakukan solat subuh, Azam memberitahu kalau pria yang baru saja ia tolong sudah tak ada di ruang tamu. Ia sebenarnya khawatir dengan keadaan pria itu, tapi mau bagaimana lagi? Maryam juga tidak bisa melarang pria itu pergi.
Awalnya Maryam mencoba menghiraukan rasa khawatir itu, tapi entah kenapa lama kelamaan rasa khawatirnya itu justru semakin bertambah. Hingga akhirnya ia mendengar lagi suara pria itu di toko bunga milik Bibinya. Suara yang masih jelas teringat oleh Maryam meski baru sekali mendengarnya.
Suaranya bagaikan suatu euphoria tersendiri di hati Maryam. Rasanya senang sekali karena akhirnya ia bisa mendengar suara itu lagi. Setidaknya sekarang ia tahu kalau pria itu baik-baik saja.
Maryam tak pernah menganggap apapun yang terjadi sebagai hal yang kebetulan, ia yakin semuanya adalah skenario Allah. Begitu juga pertemuannya dengan pria itu. Meski ia tak pernah melihat bagaimana rupa pria itu, tapi hanya dengan mendengar suaranya saja sudah membuat Maryam merasa nyaman. Hanif, pria itu telah berhasil membuatnya jatuh cinta.
Beda hal nya dengan Faris, Maryam pun merasa nyaman bila ada pria itu di dekatnya. Hanya saja perasaan nyaman tersebut tidak lebih dari rasa nyaman sebagai seorang teman.
Maryam tadinya tak mau berharap apapun soal cinta. Ia sadar diri dengan kekurangannya itu. Tapi sejak Hanif datang dalam kehidupannya, perasaan itu justru mulai menuntutnya lebih. Namun sekali lagi, Maryam tak mau terlena dengan perasaan tersebut. Ia pun lebih memilih untuk menutup perasaan itu rapat-rapat dari siapapun. Biar lah hanya dirinya dan Allah yang tahu.
"Ya Allah, aku tak mau menyebutkan namanya di dalam doa ku. Namun bila ia memang jodohku, maka mudahkan lah kami untuk bersatu dalam ikatan halal yang kau ridhoi."
***
Hanif baru saja sampai di panti asuhan. Akhir-akhir ini ia sering mendatangi tempat itu untuk bertemu dengan Mira dan anak-anak panti.
Mira pun senang karena Hanif sering mengunjunginya ke panti asuhan. Ia juga bisa melihat perubahan Hanif yang kini bahkan terlihat lebih ceria dari pada sebelumnya. Ia bisa melihat ada sesuatu yang berbeda pada diri Hanif saat ini.
"Ibu perhatikan kamu terlihat lebih bahagia. Apa ada sesuatu?"
Seperti biasa Mira bisa menebak isi hati Hanif dengan tepat. Hanif pun tersenyum simpul sambil memperhatikan anak-anak yang sedang bermain.
"Aku pernah memiliki sebuah impian. Aku ingin menjadi sosok Ayah yang di kagumi oleh anakku sekaligus menjadi suami yang baik untuk istriku kelak. Hanya saja sekarang, aku tak yakin dengan impianku itu. Aku takut gagal untuk mewujudkan itu semua."
Mira paham apa yang di rasakan Hanif sekarang. Hanif sedang jatuh cinta, hanya saja ia masih ragu pada dirinya sendiri untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius.
Mira yang sedari tadi diam mendengarkan kini mulai membuka suara. "Kenapa? Kau tidak percaya dengan dirimu sendiri?"
Hanif mengangguk lemah. "Bisa di bilang seperti itu."
"Ibu mengerti yang kamu rasakan sekarang. Tidak hanya dirimu Nak, setiap orang yang ingin mencoba melangkah ke jenjang pernikahan biasanya memang seperti itu. Terlalu banyak ketakutan padahal belum tentu seperti itu. Kau juga harus ingat, menikah adalah ibadah yang di lakukan seumur hidup. Jadi bila ada sebuah masalah, bukan berarti rumah tangga mu gagal. Menjadi pasangan suami istri berarti mau tak mau harus siap menjadi orang tua. Dan seiring berjalannya waktu, Ibu yakin kau akan bisa menemukan jawaban itu sendiri. Kau bisa belajar bersama pasanganmu kelak. Jadi bukan masalah kalian bisa menyelesaikan pernikahan dengan sempurna, tapi bagaimana kalian bertahan melalui semuanya bersama."
Mendengar perkataan Mira barusan, Hanif pun sadar. Apapun kekurangan kita memang tak bisa di hilangkan. Ia hanya terlalu takut Maryam tak mau menerima kekurangannya lalu menjauh dari kehidupannya. Sungguh ia tak mau semua itu terjadi.
"Jadi, aku harus bagaimana Bu?"
"Ikuti kata hatimu Nak. Ibu yakin kamu bisa memutuskan sendiri hal itu. Kalau kau masih bingung, istikharah Nak. Biar Allah yang membimbing mu."
Nyaman sekali mendengar petuah Mira. Hanif justru tak merasa tertekan dengan semua perkataan Mira. Setidaknya ia sekarang semakin yakin dengan keputusannya. Ia ingin meninggalkan semua balas dendamnya dan memilih hidup bahagia bersama Maryam.