Foto-foto yang ada di dinding sudah hampir semuanya tercoret. Kini hanya tersisa dua foto yang masih utuh. Hanif menatap kedua foto itu dengan penuh kebencian.
"Jadi kalian pelaku di balik semuanya? Aku takkan pernah melepaskan kalian semua sialan!" Hanif langsung menusuk foto tersebut dengan anak panah. Kali ini emosinya benar-benar tak bisa ia tahan lagi.
Sudah beberapa minggu ini Hanif fokus kembali pada tujuan awalnya untuk membalas dendam. Ia membiarkan dirinya untuk tak memikirkan hal lain. Termasuk berusaha mengenyahkan gadis itu dari pikirannya. Pikirnya, perasaan cinta yang ia rasakan itu hanya membuatnya lemah dan tak berguna. Jadi ia pun lebih memilih untuk tak tenggelam lebih jauh pada perasaan itu.
Alvin Pratama, dia adalah pelaku di balik semua kejahatan yang membuat kedua orang tua nya tiada. Dia adalah atasan Ayahnya dulu di perusahaan. Sedangkan Rendi Wirawan yang pernah menjadi target Hanif, dia adalah kaki tangan terdekat nya Alvin saat itu.
"Halo..."
"Alvin Pratama."
"Wah... Siapa yang meneleponku sepagi ini?"
"Kau masih tidur?"
"Tentu saja, kau mengganggu orang sibuk seperti ku."
"Haha... Kau harusnya tidak usah terbangun lagi. Itu lebih membuatku bahagia."
"Oh ya? Ku kira kau senang mendengar suaraku Adam, ah bukan... Maksudku Hanif."
Hanif terdiam sejenak, dari mana pria paruh baya itu tahu kalau dirinya yang menelepon. Jujur ia terkejut, namun tetap berusaha tenang.
"Kau terkejut? Hah... Asal kau tahu, aku tak pernah bermain dengan bocah ingusan sepertimu."
Kini Hanif malah tertawa remeh. "Tidak lucu kalau kau bermain dengan boneka seperti anak ingusan tentunya. Wajahmu lebih cocok tampil di penjara, ah tidak itu terlalu bagus. Bagaimana kalau di tong sampah saja?"
"Kau mengancam ku?"
"Kau merasa terancam?"
"Padahal tadinya aku ingin memberikan mu keringanan, tapi sepertinya kau tak mau bermain-main dulu denganku."
"Aku tak punya waktu untuk bermain-main."
"Baiklah... Kalau begitu, aku akan memaksa mu untuk bermain terlebih dahulu."
"Trik murahan."
"Memang, tapi itu akan membuat mu tertarik."
"Sialan! Apa mau mu?"
"Wah... Kau baru saja mengumpat padaku?"
"Diri mu memang pantas mendapatkan hinaan itu."
"Hmm... Baiklah... Terpaksa gadis itu harus ikut dalam masalah ini. Dan semuanya tentangmu, akan ku bongkar padanya tanpa terlewati satu pun."
"Aku bukan anak kecil yang bisa kau takut-takuti. Aku akan tetap melakukan apapun yang ku mau."