Hanif dan Azam sedang dalam perjalanan menuju tempat yang telah di tentukan oleh Alvin. Selama perjalanan, Azam benar-benar gugup. Setelah Hanif memberikan gambaran singkat tentang siapa yang menculik Maryam, bulu kuduknya langsung merinding. Bagaimana jahatnya seorang Alvin benar-benar membuatnya ngeri, belum lagi saat Hanif mengajaknya ke sebuah ruangan rahasia di rumah itu. Azam sekarang tahu kalau Hanif tak berbohong dengan perkataanya. Foto-foto yang ada di dinding ruangan tersebut dapat menjelaskan semuanya.
Selain foto, Azam bahkan di kejutkan dengan senjata tajam yang Hanif sembunyikan di ruangan tersebut. Pria itu terlihat mengambil beberapa senjata tersebut tanpa merasa canggung. Pria itu seperti sudah biasa melakukan hal tersebut, Hanif tak terlihat seperti amatiran saat memegang beberapa pistol.
"Apa yang sedang kau pikir kan?" Tanya Hanif yang membuyarkan lamunan Azam.
"Tidak ada."
"Ku harap kau bisa fokus. Taruhannya adalah nyawa Kakak mu."
"Aku tahu."
Usai percakapan itu mengudara, mereka kini terdiam dengan pikiran masing-masing. Setelah berdiskusi alot tentang bagaimana cara menyelamatkan Maryam, mereka pun bergegas pergi setelah menyusun beberapa rencana.
Butuh waktu beberapa jam untuk sampai ke tempat tujuan.
Saat mereka sudah berada di dekat lokasi, Hanif pun menurunkan Azam. Pada awalnya pria itu protes, tapi setelah Hanif meyakinkan beberapa kali, ia pun menurut. Azam pun turun dari mobil tersebut sambil melihat waspada ke sekitarnya.
Setelah di rasa aman, Hanif pun bergegas menjalankan mobilnya kembali setelah menyuruh Azam turun.
***
Dahi Maryam mengernyit, kepalanya benar-benar terasa pusing. Saat ingin memijit pelipis nya, tangannya tertahan. Ah, Maryam lupa kalau ia masih berada di tangan penculik itu.
"Sudah bangun tuan putri?" Alvin melepas lakban hitam di mulut Maryam.
Maryam terdiam, ia terlalu kesal untuk menjawab pria itu.
"Bagaimana ini? Pria mu bahkan belum datang ke tempat yang ku suruh hingga sekarang. Sepertinya dia benar-benar ingin kau mati." Ucapan Alvin sukses membuat Maryam membeku.
"Ya Allah, selamatkan aku."
Tiba-tiba ponsel Alvin berbunyi, ia pun menyeringai saat tahu siapa yang menghubunginya. "Bagus, aku akan ke sana sekarang."
Alvin langsung memberi isyarat pada supirnya untuk menyiapkan mobil.
"Pangeran mu sudah datang Nona. Kita lihat, drama apa yang akan dia sajikan untukku. Ah maaf, maksudku kau dengar saja drama itu saat aku menelepon mu nanti. Hahaha..." Tawa Alvin mengudara lalu ia pun pergi dari ruangan itu.
Sampai di tempat yang ia tentukan, Alvin pun turun dari mobilnya. Ia bisa melihat Hanif tengah menunggunya di sana dengan tatapan tajam. Dalam hati, Alvin ingin sekali tertawa melihat kebodohan Hanif yang lucunya datang sendirian ke tempat itu.
"Di mana Maryam?" Satu pertanyaan di layangkan oleh Hanif dan membuat pria paruh baya itu tertawa lepas.