Hanif dan Ayahnya baru saja sampai di rumah setelah solat subuh berjamaah di masjid. Sang Ibu menyambut mereka dengan senyuman lalu kemudian berkumpul di mushola kecil yang ada di rumah mereka. Seperti biasanya mereka akan mengaji bersama sebelum memulai aktivitas di hari itu.
Selesai mengaji, Adnan mulai membuka percakapan. "Hari ini Hanif mau jalan-jalan ke mana? Kebetulan akhir pekan ini Ayah di beri jatah libur." Tanya Adnan pada anaknya.
"Hanif tidak mau ke mana-mana, Hanif mau di rumah saja bersama kalian."
"Selagi Ayah di kasih libur lho Hanif, yakin tidak mau jalan-jalan?" Kini sang Ibu ikut berbicara.
"Hanif ingin main di rumah saja bersama kalian. Hanif mau belajar memasak bersama Ibu."
"Ya sudah kalau begitu hari ini kita di rumah saja. Hanif memangnya mau belajar masak apa?" Tanya sang Ayah.
"Masak nasi liwet sepertinya enak Ayah." Hanif terkekeh menampilkan deret giginya yang rapi.
"Bahannya ada Bu?
"Ada, stok belanjaan di kulkas masih lumayan banyak."
"Asik! Berarti hari ini kita masak nasi liwet ya Bu."
"Iya, nanti Ibu masak tempe mendoan juga untuk kalian."
"Kalau begitu sekalian buat sambal dan lalapannya juga ya Bu." Tambah sang Ayah sambil terkekeh kecil.
***
Pagi itu akhirnya mereka mulai memasak bersama. Hanif membantu membersihkan sayur-sayuran, Ayahnya membantu memotong beberapa bahan makanan, sementara sang Ibu mulai menggoreng beberapa lauk.
Meski mereka hidup dengan harta yang berkecukupan, tapi mereka sudah terbiasa untuk hidup sederhana. Hanif sendiri bukan tipikal anak manja yang bergelimang dengan kemewahan. Sedari kecil, orangtuanya menanamkan sikap mandiri pada Hanif. Bahkan jika Hanif ingin membeli sesuatu, ia akan berusaha mengumpulkan uang sendiri lewat uang jajan yang di berikan Ayahnya.
Bukannya pelit, sang Ayah bisa saja membelikan semua yang Hanif mau. Hanya saja ia ingin anaknya bisa menikmati sesuatu yang di dapat melalui hasil kerja kerasnya sendiri. Selain itu, ia juga ingin Hanif bijaksana dalam menggunakan uangnya.
"Ibu, ini sudah benar kan?" Hanif menunjukkan hasil pekerjaan mencuci sayurannya pada sang Ibu.
"Iya sudah benar, anak Ibu pintar sekali sih."
"Hehe... Tentu saja. Aku kan anak Ibu."
"Terus Ayah bagaimana?" Sahut sang Ayah yang pura-pura merajuk.
"Hmm... Tentu saja anak Ayah juga. Hehe..." Hanif tersenyum hangat pada sang Ayah.
Tak terasa sudah satu jam berlalu, kini mereka pun mulai menyantap masakan buatan mereka. Meja makan yang sudah terisi dengan beberapa masakan, membuat Hanif makin bersemangat.
"Wah... Enak sekali!" Ucap Hanif dengan mata berbinar dan mulut terisi penuh makanan.
"Telan dulu makanannya sayang." Ibunya mencoba mengingatkan.