Tangis di ruang mayat semakin menjadi kala tubuh gosong itu di perlihatkan. Sarah terlihat sangat rapuh, ia terduduk lemah saat melihat mayat suaminya berakhir mengenaskan seperti itu. Dengan tangan gemetar, Sarah mencoba menutup mulutnya untuk meredakan isak tangisnya yang semakin menjadi. Ia masih tak percaya kalau hari itu adalah hari terakhirnya bertemu dengan Adnan, suami tercintanya.
Bukan hanya Sarah, Hanif pun serupa. Anak kecil itu terlalu terkejut dengan semua yang terjadi. Mulai dari penangkapan Ayahnya yang tiba-tiba sampai kabar kematian Ayahnya yang begitu mendadak. Ia hanya lah seorang anak yang jiwanya masih sangat rentan, tentu saja semua berita itu sangat mengguncang jiwanya. Hanif benar-benar tak siap dengan itu semua.
"Ayah kenapa tega sekali meninggalkan Hanif dan Ibu? Apa Ayah tidak menyayangi kami lagi? Apa Ayah tak ingin melihat Hanif tumbuh dewasa dan bisa menjadi sosok yang membanggakan seperti Ayah?" Tutur Hanif dengan raut wajah sembab dan bibir yang bergetar.
Sarah sendiri sudah tak tahu lagi harus berbuat apa, karena pada kenyataannya ia sendiri juga dalam keadaan yang tak baik-baik saja. Yang ia bisa ia lakukan pada akhirnya adalah memeluk anak laki-lakinya itu dengan erat berharap agar Hanif lebih tenang. Sungguh rasanya sangat menyakitkan melihat orang ia cintai menangis seperti itu.
Berdasarkan pernyataan petugas, semua penumpang yang ada di dalam mobil polisi itu tewas di tempat. Mereka menduga mobil tersebut oleng karena jalanan licin hingga akhirnya meledak saat terjatuh ke dalam jurang.
***
Setelah hampir sebulan suaminya meninggal, Sarah mulai kembali bekerja di tempat kerjanya yang lama. Sekarang ia harus menjadi tulang punggung sekaligus kepala keluarga menggantikan sang suami.
"Sayang, semangat sekolahnya ya. Ibu harus berangkat sekarang. Tak apa kan kalau kamu berangkat sendiri?" Tanya Sarah sambil mengusap kepala anaknya dengan sayang.
Hanif mengangguk sambil tersenyum hangat. "Iya Bu tidak apa, Hanif bisa berangkat sendiri ke sekolah. Ibu hati-hati di jalan ya."
"Iya sayang. Ibu berangkat ya, assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Pagi itu Ibunya harus berangkat kerja lebih awal dan tak bisa mengantar Hanif ke sekolah. Tak lama setelah Ibunya pergi, Hanif pun pergi ke sekolah naik bus.
Sekilas Hanif tampak baik-baik saja, ia hanya tak mau Ibunya khawatir pada dirinya. Karena ia tahu Ibunya dan dirinya sendiri sama-sama rapuh, maka dari itu ia mencoba terlihat baik-baik saja. Padahal nyatanya di sekolah, Hanif harus menerima caci maki dari teman-temannya. Sejak Ayahnya meninggal, teman-teman sekolahnya mengucilkan Hanif.
"Lucu sekali kalau mengingat dia selalu membanggakan Ayahnya di depan yang lain, padahal Ayahnya hanya lah seorang koruptor. Apa dia bangga menjadi anak koruptor?"