Namaku Senja.
Orang bilang wajahku terlalu polos untuk menjadi seorang detektif. Aku tidak tahu siapa yang memulai gosip itu—mungkin petugas shift malam yang baru sekali melihatku, atau mungkin barista di kafe depan kantor yang selalu bilang aku “kelihatan kayak mahasiswi nyasar”—tapi gosip itu menyebar lebih cepat daripada rumor diskon donat di outlet.
Rambut hitamku selalu kuikat seadanya. Ribet amat pakai hairspray segala. Seragamku? Sering kali kusetrika dengan semangat “asal nggak lecek banget”. Dan tiap kali aku melangkah masuk ke kantor NYPD yang dinginnya stabil kayak kulkas mini, tatapan orang-orang di dalamnya seperti berkata:
“Kamu anak magang baru ya?”
Kalau saja aku dibayar setiap kali seseorang salah mengira tugasku, aku sudah kaya dan tinggal di Manhattan daripada di apartemen sempitku yang dindingnya setipis kardus Indomie.
Padahal, aku bukan anak magang.
Aku detektif NYPD—dan ya… mungkin memang detektif termuda di divisi kriminal. Tapi tetap saja. Aku Detektif.
Pagi itu dimulai seperti biasa: tumpukan berkas yang masih hangat dari printer, suara telepon yang tidak pernah benar-benar berhenti, langkah terburu-buru dari petugas yang dikejar target, dan aroma kopi basi dari mesin tua yang sudah berumur lebih lama daripada karier salah satu sergeant di ruangan itu.
Aku duduk di mejaku, memelototi laporan yang belum kuselesaikan semalam. “Ini harusnya gampang,” gumamku. “Tinggal ngetik ulang kronologi, tambahin lampiran—”
BRAK.
Suara itu datang dari arah kiriku. Bahkan tanpa menoleh pun aku tahu siapa pelakunya.
“Senja.” Suaranya sudah cukup mengintimidasi, tapi nadanya… oh, nadanya seperti guru BK yang baru menemukan muridnya ketahuan tidur saat jam pelajaran. “Serius deh… kalau kau terus berlagak princess, aku nggak tahu gimana nasib tim kita.”
Aku angkat wajahku.
Itu Sarah.
Partnerku.
Sarah dengan rambut pirang yang entah bagaimana selalu tampak baru keluar dari salon, padahal jam kerja kami tidak manusiawi. Sorot matanya tajam, bahunya tegap, gaya jalannya kayak dia punya runway pribadi menuju mejaku.
Dia hanya—bagaimana ya—punya aura yang bikin orang lain otomatis minggir.
Aku mendengus. “Princess dari mana coba? Aku bahkan nggak punya gaun malam.”
Sarah menyandarkan diri pada tepi mejaku, membuat dokumen-dokumenku sedikit terangkat angin. “Exactly. Kau punya otak tajam, tapi ekspresimu terlalu manis. Penjahat bisa luluh sebelum kau sempat menginterogasi mereka.”
“Bukannya itu bagus? Meringankan suasana?”
“Itu kalau kita kerja di daycare, sayang.”
Aku memutar mata. Sarah semacam campuran antara teman baik, mentor, kakak cerewet, dan pengganggu profesional.
Aku ingin membantah, tapi… ya, dia ada benarnya. Banyak tersangka justru lebih sibuk menanyakan nomor teleponku daripada menjawab pertanyaan. Salah satu dari mereka bahkan sempat bertanya apakah aku sudah makan. Di ruang interogasi. Saat dia sedang dituduh mencuri mobil.
Catatan: aku sudah makan saat itu.
Sebelum aku sempat menimpali Sarah dengan argumen paling cerdas yang bisa kupikirkan dalam sepuluh detik, telepon di meja berdering
KRING! KRING!
Suara yang terlalu keras untuk pagi yang baru berjalan setengah jam.
Sarah mengangkat alis, seolah berkata, Ayo, princess. Jangan bengong.
Aku mengambil gagang telepon. “Detective Senja speaking.”
Di ujung sana, suara operator shift siang terdengar tergesa-gesa. “Ada laporan masuk. Kemungkinan kecil kasus kriminal… tapi warga minta ada detektif yang datang. Lokasi dekat taman komunitas Riverside.”
“Jenis kasusnya?” tanyaku.
“Hmm…” Operator berbunyi ragu. “Orang bilang... Kucing.”
Aku menutup telepon tanpa ragu.
“…Kucing?” Sarah sudah menyipitkan mata sinisnya. “Kau bercanda?”
“Aku harap begitu.” Aku berdiri mengambil mantel. “Tapi warga minta detektif datang, dan kita tidak bisa menolak.”
Sarah menghela napas panjang. “NYPD. The great protector of New York… and cats.”
Aku tersenyum kecil. “Let’s catch some bad… cats?”
“Senja.”
“Ya?”
“Jangan pernah bilang seperti itu lagi ya.”
Aku terkekeh sendirian.
Dan begitulah—tanpa tahu apa yang menunggu, kami melangkah keluar dari kantor, memulai hari yang ternyata jauh lebih rumit daripada sekadar mencari kucing yang hilang.
---
Mobil kami melaju di antara trotoar yang sibuk. Kota ini tidak pernah diam. Bahkan pagi pun terasa penuh energi: klakson tak sabar, suara pedagang hotdog, ritme langkah orang-orang bekerja seperti mereka sedang berlomba maraton tanpa garis finis.
Sarah menyetir seperti biasa—efisien, cepat, dan sedikit menyeramkan.