Aku membeku selama sepersekian detik.
Sarah langsung berdiri di belakangku, satu tangan otomatis meraih pinggang—kebiasaan refleks polisi kalau ada di situasi yang janggal. Bukan untuk menarik pistol (kami tidak asal cabut), tetapi untuk memastikan akses cepat kalau tiba-tiba ada tanda bahaya.
Namun…
Yang kulihat di balik semak-semak itu…
Bukan tubuh manusia.
Bukan kucing.
Bukan juga sesuatu yang menakutkan.
Tapi tetap saja… aneh.
“Senja… itu apa?” bisik Sarah, suaranya pelan hampir tidak terdengar.
Aku jongkok perlahan, memiringkan kepalaku, mencoba memastikan mataku tidak menipuku.
“…Kotak makanan?” gumamku.
Sarah mendekat perlahan. “Kotak makanan?”
Aku mengangguk. “Kotak bekal. Yang biasanya dipakai anak-anak. Ada gambar unicorn-nya.”
Sarah menatapku lama. “Jadi… benda misterius yang bikin kau ternganga itu kotak bekal unicorn?”
Aku tidak menjawab.
Karena bukan itu masalahnya.
Masalahnya adalah apa yang ada di dalam kotak itu.
Aku mengangkat perlahan penutupnya.
Sarah perlahan mendekat kearahku, jelas merasa penasaran.
Dan di dalam kotak itu…
Ada kertas kecil, yang terlihat dilipat dengan rapi.
Aku menariknya keluar.
Kertas itu dihiasi stiker kecil lucu—berbentuk bintang, bunga, dan… paw-print. Cap kaki hewan. Entah kenapa hiasannya justru membuat ini semakin tidak wajar.
Sarah mencondongkan badannya ke arahku. “Apa isinya?”
Aku membuka lipatan itu.
Tulisan tangan. Hurufnya bulat-bulat
“Cari aku kalau berani.
Aku suka bermain petak umpet.
– M”
Aku nyaris tidak bisa bernapas dengan normal.
Sarah mengambil kertas itu dari tanganku, lalu membacanya dengan cepat. “M?”
Aku menelan ludah.
“…Mimi?”
Sarah langsung menatapku dengan cepat, matanya membesar. “Kau pikir kucing itu—”
“Sarah,” potongku. “Jangan bilang hal-hal yang membuatku kehilangan harapan pada umat manusia.”
Sarah memijit pelipisnya pelan. “Astaga. Jadi seseorang menculik kucing, menulis pesan manual, memasukkannya ke kotak unicorn, lalu menyembunyikannya di semak-semak?”
Aku mengangguk kecil. “Dan bilang ‘cari aku kalau berani’. Itu tantangan.”
Sarah menghela napas panjang dan sedikit frustasi. “Kita… di-bully kucing. Atau penculik kucing yang terlalu kreatif.”
Aku terdiam.
Karena tiba-tiba…
“Ada yang memperhatikan kita,” bisikku pada Sarah.
Sarah langsung berubah mode serius. “Dimana?”
Aku menggerakkan mata ke arah ayunan playground.
Di sana—di bawah tiang besi—seorang anak kecil berdiri sambil menatap kami.
Dari jauh.
Wajahnya datar.
Tidak tersenyum.
Tidak kabur.
Dan dia hanya... memperhatikan kami.
Seolah menilai sesuatu.
“Senja,” gumam Sarah, “kenapa semua anak-anak hari ini bertingkah seperti karakter game horror level easy?”
“Aku juga bertanya kepada diriku sendiri.”
Ketika kami hendak menghampirinya, anak itu tiba-tiba berbalik dan berjalan dengan cepat ke arah gerbang taman. Tidak lari. Tidak panik. Hanya… menjauh dengan tenang.
“Apa kita harus mengejarnya?” tanya Sarah.
Aku berpikir sebentar. Anak itu tidak terlihat takut. Tidak terlihat ingin menghindar. Lebih seperti… ingin menyampaikan pesan tanpa kata.
“Tidak. Kalau dia mempunyai informasi, dia pasti akan datang lagi,” jawabku.
Sarah menghela napas berat. “Kau tahu ini membuat kasus kucing hilang jadi terasa… seperti kategori psychological thriller, ‘kan?”
Aku mengangguk. “Dan kita bahkan baru saja memulainya.”