“Aku benci bilang ini…” Sarah menatap ponselnya seperti itu adalah makhluk asing. “…tapi orang ini benar-benar niat.”
“Aku tahu,” gumamku, memandang foto Mimi dengan pencahayaan dramatis ala poster film murahan. “Ada aesthetic-nya juga.”
Sarah mendelik. “Bukan saatnya memuji.”
Aku mengangkat bahu. “Aku cuma menghargai usahanya.”
Kami duduk di ruang tamu si Ibu pemilik Mimi, sementara si Ibu—yang tadi setengah pingsan—sekarang meminum teh sambil sesekali menangis lirih seperti latar suara film drama.
Sarah menunduk, menautkan jarinya. Gerakannya tenang, tapi matanya… tajam.
“Jadi kita dikirimin foto Mimi pakai pita merah, dengan tulisan ‘Langkah 1: Taman’. Artinya masih ada langkah 2, 3, entah berapa.”
“Paling sedikit sih tiga.” Aku bermain dengan logika. “Permainan yang proper harus ada minimal tiga ronde.”
Sarah menatapku lama. “Senja, ini bukan game event game.”
“Kelihatannya sih iya.”
Aku menahan tawa saat wajah Sarah berubah seperti ingin melemparkan sofa ke luar jendela.
*****
Kembali ke TKP — Taman Riverside
Kami kembali ke taman. Kali ini, matahari sudah mulai turun, sinarnya keemasan namun tidak cukup menenangkan untuk menutupi fakta bahwa kami sedang mengejar… penculik kucing kreatif beridentitas “M”.
Sarah menyapu area playground dengan tatapan waspada. “Kalau ini langkah pertama… berarti ada petunjuk lanjutan. Kita harus cari titik yang non-logic.”
“Non-logic?” ulangku.
Sarah mengangguk. “Pelaku yang menunjukkan ketertarikan yang aneh suka dengan hal-hal yang aneh.”
Aku menunjuk papan ayunan. “Contohnya seperti itu?”
Papan ayunan itu tidak bergerak meski angin cukup kencang.
Sarah menyipitkan matanya. “Yap.”
Kami mendekat.
Ayunan itu tampak biasa. Kecuali—ya, kecuali sesuatu yang menempel di bagian bawah papan.
Sebuah stiker.
Stiker berbentuk kucing dengan pita berwarna merah.
Aku mendekat ke arah ayunan itu dan sedikit menunduk. Sarah memegang bahuku, menarikku mundur sedikit.
“Jangan terlalu dekat. Bisa saja ini dipasang buat jebakan.”
“Pasang jebakan... di ayunan?” gumamku. “Sarah… apa aku akan dipukul pakai papan ayunan?”
Sarah mengangkat alis. “Jangan remehkan kriminal yang mempunyai waktu luang yang tinggi.”
Aku menunduk lagi, tapi kali ini lebih hati-hati.
“Ini hanya stiker, Sarah” kataku.
“Stiker tidak pernah ada kata ‘hanya’ stiker dalam kasus seperti ini.”
Aku menyentuh bagian belakangnya.
Dan benar.
Ada kertas kecil terlipat di bawah stiker itu.
Aku tarik itu dengan hati-hati.
Sarah sedikit mencondongkan tubuhnya ke arahku. “Apa isinya?”
Aku membuka itu dengan hati-hati dan waspada.
Tulisan bulat-bulat itu lagi.
“Langkah 2: Di tempat yang menyimpan rahasia. Temui aku sebelum gelap.”
Sarah menegang. “Tempat rahasia? Tempat apa lagi ini?”
Aku menghela napas. “Tergantung konteks. Di lingkungan sini… rahasia biasanya cuma disimpan di dua tempat.”
Sarah menatapku skeptis. “Dua tempat?”
“Toilet umum… atau perpustakaan.”
Sarah menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Tolong jangan bilang kita akan menemukan petunjuk di toilet umum kota.”
Aku melirik jam. “Kita mempunyai batas waktu sebelum malam. Kita harus cepat.”
“Ya, tapi—”
Aku memotong, “Dan kita tidak punya cukup waktu untuk berdebat.”
Sarah menghela napas panjang. “Astaga... Oke baiklah. Kita ke perpustakaan dulu. Kalau petunjuknya ada di toilet… kau yang ambil.”
“Kesepakatan yang bijak.”