Aku mulai menyadari perubahan atmosfer: dingin, penuh bisik-bisik, dan langkah-langkah yang ingin saling menjatuhkan. Ini adalah awal gejolak batin yang perlahan terlihat dan semakin nyata. “Pemburu”, “Predator” dan “Mangsa” adalah wujud dari apa yang aku rasakan setiap hari. Tidak ada “Zona Netral”. Pernah dalam suatu keadaan, dokumen-dokumen yang berantakan di atas mejaku berbau bukan seperti kertas, tapi terlihat seperti bangkai baru dengan lumuran darah segar. Seolah-seolah setiap mata yang melihatku mencoba mencari titik lemah dari tiap lembar berkas yang tersebar di atas meja kerjaku. Situasi seperti ini bukanlah “Tidak Biasa”. Inilah keadaan yang sebenarnya ada dan terjadi di ”hutan Kami”.
Menjadi ”orang baik” bisa dianggap suatu kesalahan sekaligus kekalahan. Untuk lebih aman situasi ini harus dibungkus dengan pertahanan diri yang lumayan kuat dan juga berat. Mengapa? Karena kamu tidak akan bisa lagi menjadi ”orang baik” bila sudah berwujud seperti ini dan aku menyadari hal ini. Setiap kali aku mencoba memaknai ulang apa yang terjadi, aku selalu berujung pada satu kesimpulan yang sama: ruang kerja ini bukan sekadar gedung dengan lampu-lampu putih dan meja-meja pegawai, tapi sebuah ekosistem yang terus mencetak ulang perilaku penghuninya. Bukan memanusiakan—melainkan membentuk mereka menjadi versi yang paling adaptif terhadap tekanan, paling licin dalam membaca peluang, dan paling cepat dalam mengendus kelemahan orang lain.
Pagi hari menjadi waktu paling penting untuk membaca tanda-tanda. Ada ritme tertentu di langkah kaki yang masuk ke kantor. Ada nada khusus dalam sapaan “pagi” yang terdengar pura-pura. Ada cara seseorang menutup pintu ruangan sedikit lebih keras dari biasanya. Semua itu bukan kebetulan. Di tempat seperti ini, perubahan kecil pada perilaku seseorang sering menjadi tanda badai yang sedang bergerak ke satu arah. Aku sampai bisa membedakan jenis-jenis langkah dari ujung lorong. Ada langkah cepat yang berbau ambisi. Langkah pelan yang penuh strategi. Langkah berat yang membawa beban laporan. Dan langkah ringan, biasanya milik orang-orang yang baru saja memenangkan pertarungan kecil hari sebelumnya. Yang paling membuatku lelah bukan pekerjaan teknisnya, tetapi membaca semua itu setiap hari. Seperti membaca pola jejak kaki hewan di lantai tanah hutan—kita tidak pernah tahu apakah jejak itu milik mangsa atau milik predator yang sedang mengelilingi kita.
Ada kalanya aku berusaha menjadi “tidak peduli”, tapi ruang ini tidak pernah mengizinkan itu. Setiap orang harus mengambil posisi. Kalau kau tidak memilih, lingkungan akan memilihkan posisi untukmu—andai beruntung, kamu hanya dianggap penonton. Kalau tidak, kamu ditempatkan sebagai sasaran empuk. Aku pernah memperhatikan bagaimana seseorang yang dulunya ramah perlahan berubah. Mulanya ia hanya diam. Lalu ia mulai jarang ikut makan siang. Lalu ia mulai menutup layar laptopnya setiap kali ada orang lewat. Lalu ia mulai mengunci laci meski hanya berisi pulpen. Aku tahu pola itu. Pola “bertahan hidup”. Kemudian aku sadar—aku sedang berada di jalur yang sama.