Serigala Rimba Beton

Davie Al-Fattah
Chapter #2

BAB 2 — Senyum yang Tidak Sampai ke Mata

Tentang kolega yang dendamnya halus, persaingan terselubung, dan bagaimana Aku belajar membaca energi yang tidak terlihat namun penuh dengan racun bila terhisap. Aku rasa itu bukan energi tapi lebih ke “jebakan”. Dengan kata lain, selain ruanganku yang terkadang masih menyimpan racun, udara yang ada di dalam kantor ini pun sangat jauh dari kata ”bersih”. Aku tak lagi sibuk menyatakan diri kalau aku ”manusia yang bersih”. Semua hanyalah kebohongan, hanya itu yang aku yakini sekarang.

Ada yang berubah dari cara mereka tersenyum. Senyum itu bukan lagi sapaan ramah, bukan bentuk penghargaan, bukan tanda bahwa kami rekan kerja yang berjalan di jalur yang sama. Senyum itu berhenti hanya di bibir. Ia tidak pernah sampai ke mata. Aku belajar bahwa mata adalah bagian tubuh yang paling jujur—bahkan ketika mulut sedang memainkan sandiwara terbaiknya. Ada kilatan tertentu dalam mata seseorang yang sedang menyembunyikan dendam. Ada garis kecil di ujung mata orang yang sedang merencanakan sesuatu. Ada tatapan kosong dari mereka yang pura-pura tidak peduli padahal menghitung langkah kita satu per satu.

Dan di tempat kerja seperti ini, mata bukan jendela jiwa. Mereka adalah perangkap. Jebakan. Alarm yang diam-diam berbunyi hanya untuk mereka yang peka membaca tanda-tandanya. Senyum di kantor ini punya banyak versi. Ada senyum “aku ikut saja”, senyum “aku tidak peduli”, senyum “aku sebenarnya benci kamu”, dan senyum “aku sedang menunggu kamu salah langkah”. Aku melihat semuanya hampir setiap hari. Ada yang tersenyum sambil memberi selamat, padahal ia yang paling kecewa dengan keberhasilanmu. Ada yang memujimu di depanmu, namun menusukmu begitu kamu membalikkan badan. Ada yang terlihat dekat, tapi hanya mengikuti arah angin—menjadi teman saat kamu dibutuhkan, menjadi musuh ketika kamu menjadi ancaman.

Dalam dunia kerja yang 80% toxic ini, wajah orang jarang mencerminkan niatnya. Bisa aku katakan ”Nol untuk Niat Baik”. Yang lebih jujur adalah caranya menutup map, cara menekan tombol keyboard sedikit lebih kencang, cara mereka menarik napas sebelum menjawab pertanyaan sederhana. Semua itu adalah bahasa. Bahasa yang harus kupelajari bila ingin tetap bertahan. Aku belajar satu hal penting: dendam di kantor tidak pernah berisik apalagi berteriak lantang. Ia halus. Ia seperti asap tipis dari kertas yang terbakar perlahan—tidak terlihat jelas, tapi baunya menusuk hingga ke dalam kepala utamanya melumpuhkan beberapa sistem kerja “Kewarasan Otak“.

Dendam itu tinggal di cara mereka memalingkan wajah satu detik terlalu cepat. Di cara mereka mengirim pesan singkat tanpa salam. Di cara mereka meminta bantuan tanpa terima kasih. Di cara mereka memuji atasan hanya ketika ada orang tertentu yang lewat. Dendam di kantor bukan untuk dilawan. Ia untuk dibaca. Karena melawan secara langsung hanya menjadikan kita target baru. Dan di kantor seperti ini, target baru berarti makan siang gratis bagi predator yang sedang lapar.

Lihat selengkapnya