Jam 9 selalu datang seperti pisau yang diasah setiap malam. Tak pernah tumpul, tak pernah terlambat, dan tak pernah peduli apakah aku siap atau tidak untuk disentuh olehnya. Pukul 9 adalah waktu ketika semua topeng dikenakan. Ketika setiap orang menegakkan punggungnya, memoles senyumannya, dan merapikan wajahnya seperti hewan-hewan di hutan yang mencuci moncongnya sebelum berburu. Pukul 9 adalah kode, ritual, tanda dimulainya sesuatu yang jauh lebih berat daripada sekadar pekerjaan. Jam 5 mungkin membuat tubuh bebas. Tapi jam 9 menahan jiwamu agar tetap terikat.
Setiap hari, sebelum melangkah masuk ke dalam gedung kantor, aku berhenti sejenak di depan pintu. Tidak lama, hanya beberapa detik—cukup untuk meredam gemuruh yang mulai muncul dari dalam diri. Udara pagi yang seharusnya segar pun terasa berbeda. Seperti aroma semak basah yang menyimpan jejak makhluk yang mengintai. Seperti tanda bahwa aku sedang dalam perjalanan, bukan menuju ruang kerja, tapi menuju hutan tempat aku harus berkamuflase setiap hari. Dan pada titik tertentu, aku sadar… yang kutakuti bukan pekerjaan. Tetapi manusia-manusia yang berjalan bersamanya.
Beban mental, bukan beban pekerjaan. Saat Aku mulai mempertanyakan apakah masih sehatkah diriku berada di lingkungan ini? jawabnya sudah bisa ditebak. Karena ”sehat” bukanlah sekedar kata. Sehat adalah melainkan lebih ke ”Eksistensi Jiwa”. Saat aku menyadari bahwa kesehatan ”mental kerja” diriku telah terganggu sangat parah, maka yang terjadi adalah aku mulai mempersiapkan semua bagian diriku bukan untuk jatuh dan sakit melainkan untuk memperhitungkan setiap serangan yang akan datang dihadapanku saat aku lengah.
Aku tidak lagi mampu membohongi diriku sendiri pada tahap ini. Rasa letih mental itu muncul bukan dari jam lembur atau tumpukan laporan, melainkan dari energi-energi gelap yang bergerak seperti kabut, masuk dari celah-celah yang tidak terlihat. Ada kalanya aku merasakan tubuhku berdiri tegak, tetapi jiwaku merangkak di lantai. Ada kalanya aku bisa tersenyum, tapi hanya bibirku, bukan mataku. Aku mulai mengerti bahwa pertanyaan “apakah aku masih sehat?” adalah tanda bahaya. Tanda bahwa jiwaku sedang mendekati tepi jurang, dan sedikit dorongan dari luar dapat membuatnya jatuh. Yang kupersiapkan setiap pagi bukan lagi niat bekerja dengan baik. Yang kupersiapkan adalah kemampuan bertahan.
Menghitung langkah. Mengatur napas. Membaca siapa yang hari ini lebih haus darah daripada biasanya.
Di tempat ini, sehat bukan tentang fisik.
Sehat adalah tentang apakah jiwamu masih ada atau tidak. Namun sekali lagi, hidup dibelantara ini tidak mengenal kata ”lengah”. Di kantor ini hanya sedikit kesalahan bahkan yang tidak tampak, bisa mengubah situasi tenang menjadi situasi berburu dengan tujuan untuk saling menjatuhkan. Aku tidak akan pernah lengah. Beberapa kolega yang tampak ingin berempati di hadapanku, membuatku semakin percaya bahwa bila aku salah memperhitungkan langkah maka aku adalah ”Santapan” mereka berikutnya. Jangan pernah memperlihatkan sisi lemah mu di hutan ini. Aku belajar bahwa dalam dunia ini, ketenangan adalah fase paling berbahaya. Saat ruangan menjadi terlalu sunyi, saat percakapan berubah menjadi bisik-bisik, saat senyum rekan kerja tampak lebih lebar dari biasanya—di situlah bahaya sebenarnya mulai bangun.